Bagikan:

JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Joe Biden menerima Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, membahas sejumlah hal terkait kedua negara, termasuk bekerja sama untuk dalam upaya menjalin hubungan diplomatik Israel-Arab Saudi.

Bertemu untuk pertama kalinya sejak PM Netanyahu kembali berkuasa pada Bulan Desember, kedua pemimpin mengisyaratkan keinginan untuk meredakan ketegangan dalam hubungan kedua negara, meski Presiden Biden menjelaskan Ia juga membahas perbedaan mereka.

Ini termasuk penolakan Pemimpin Gedung Putih terhadap rencana perombakan peradilan yang kontroversial dari pemerintahan sayap kanan PM Netanyahu, serta kekhawatirannya mengenai sikap keras Israel terhadap Palestina.

"Saya harap kita bisa menyelesaikan beberapa hal hari ini," ujar Presiden Biden pada awal perundingan sambil duduk berdampingan dengan PM Netanyahu di salah satu ballroom hotel di New York, melansir Reuters 21 September.

Pernyataan Gedung Putih yang dikeluarkan setelah pertemuan tersebut mengatakan, Presiden Biden "menegaskan kembali keprihatinannya mengenai perubahan mendasar apa pun pada sistem demokrasi Israel, tanpa adanya konsensus seluas mungkin."

Selain itu, Presiden Biden juga menyerukan "tindakan segera untuk meningkatkan situasi keamanan dan ekonomi, menjaga kelangsungan solusi dua negara, hingga mendorong perdamaian yang adil dan abadi antara Israel dengan Palestina," kata pernyataan itu.

Alih-alih mengadakan pertemuan di Gedung Putih, tempat yang lebih bergengsi, kedua pemimpin tersebut bertemu di sela-sela keikutsertaan mereka dalam Majelis Umum tingkat tinggi PBB tahunan. Sebelumnya, Presiden Biden mengundang PM Netanyahu untuk mengunjungi Washington sebelum akhir tahun ini.

Lebih jauh, Presiden Biden menegaskan kembali komitmennya untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, mengulangi dukungannya terhadap solusi dua negara terhadap konflik Israel-Palestina.

Presiden Biden dan PM Netanyahu menghabiskan beberapa waktu untuk bertemu empat mata tanpa penasihat, sebut seorang pejabat senior pemerintahan Presiden Biden.

Pembicaraan dengan PM Netanyahu dipandang sebagai kesempatan bagi PM Biden untuk memberi pengarahan kepadanya, mencoba melihat sejauh mana Israel bersedia melakukan apa yang dianggap sebagai potensi tawar-menawar besar yang dapat membentuk kembali geopolitik di Timur Tengah.

Di sisi lain, Pemerintahan PM Netanyahu menunjukkan sedikit kesediaan untuk memberikan konsesi besar kepada Palestina, yang dapat mempersulit Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman untuk menyetujui normalisasi.

Meskipun para pejabat AS bersikukuh bahwa tidak ada terobosan yang bisa dicapai, mereka secara pribadi memuji potensi manfaatnya, termasuk menghilangkan kemungkinan konflik Arab-Israel, memperkuat benteng regional melawan Iran, dan melawan serangan Tiongkok di Teluk.

Terpisah, pengamat Timur Tengah di Washington Institute for Near East Policy David Makovsky mencatat dalam sebuah unggahan di X, pertemuan itu terjadi "265 hari setelah Netanyahu menjabat, kesenjangan terpanjang sejak 1964."

"Potensi besar kesepakatan Saudi telah membuat Biden dan Netanyahu tidak punya pilihan selain bertemu meskipun ada perbedaan," tulisnya.