JAKARTA - Israel menerapkan sistem apartheid di Tepi Barat yang diduduki, kata mantan kepala intelijen Mossad, menjadikannya mantan pejabat tinggi kedua yang mengutuk pendudukan selama beberapa pekan terakhir.
"Ada negara apartheid di sini. Di wilayah di mana dua orang diadili berdasarkan dua sistem hukum, itu adalah negara apartheid," ujar Tamir Pardo dalam wawancara dengan Associated Press, seperti dikutip dari The National News 8 September.
Pardo, yang menjabat sebagai kepala badan intelijen dari tahun 2011 hingga 2016 mengatakan, pandangannya mengenai Tepi Barat tidak ekstrem, melainkan fakta.
Komentarnya menyusul tuduhan serupa dari pensiunan jenderal Israel Amiram Levin beberapa waktu lalu, mengatakan tentara terlibat dalam kejahatan perang di Tepi Barat yang diduduki.
Pardo mengatakan warga Israel bisa naik mobil dan berkendara ke mana pun mereka mau, kecuali Jalur Gaza yang diblokade. Sementara, warga Palestina tidak bisa mengemudi ke mana pun.
Warga Israel dilarang memasuki wilayah Palestina di Tepi Barat, namun dapat berkendara melintasi Israel dan 60 persen wilayah Tepi Barat yang dikuasai Israel.
Sedangkan warga Palestina memerlukan izin dari Israel untuk memasuki negaranya, seringkali harus melewati pos pemeriksaan militer untuk dapat berpindah ke wilayah Tepi Barat.
Dia mengatakan telah berulang kali mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memutuskan demarkasi perbatasan Israel.
"Israel perlu memutuskan apa yang diinginkannya. Negara yang tidak memiliki perbatasan tidak memiliki batas," tandasnya.
Diketahui, Israel menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur sejak tahun 1967, menguasai wilayah yang dicita-citakan Palestina sebagai bagian dari negara merdeka di masa depan.
Tindakan Israel di Tepi Barat sepanjang tahun ini, menjadikan tahun 2023 sebagai tahun paling berdarah sejak tahun 2005, memecahkan rekor tahun lalu.
BACA JUGA:
Lebih dari 180 warga Palestina telah terbunuh tahun ini, menurut penghitungan Associated Press.
Serangan yang terjadi hampir setiap hari di Kota Jenin dan Nablus, tempat tentara mengirim helikopter Apache dan drone untuk menyerang militan di daerah padat penduduk.
Penggerebekan selama dua hari di kamp pengungsi Jenin pada Bulan Juli, yang menewaskan 12 orang dan menyebabkan sebagian besar wilayah tersebut menjadi puing-puing, mendapat kecaman luas.