JAKARTA - Keputusan Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk menolak syarat-syarat kesepakatan pengakuan bersalah dari lima tahanan Teluk Guantanamo, seharusnya menjadi bagian dari upaya berkelanjutan oleh Gedung Putih untuk mendekatkan diri dengan keluarga korban 11 September, kata seseorang yang anggota keluarganya terbunuh dalam serangan teroris tahun 2001.
Sebagai imbalan atas pengakuan bersalah atas konspirasi untuk melakukan serangan 11 September 2001, para terdakwa akan terhindar dari hukuman mati. Sebagai gantinya, mereka akan menerima hukuman maksimum penjara seumur hidup, menurut laporan The New York Times.
"Hal ini tentu saja terlihat seperti sebuah pertanda perkembangan positif dari pemerintah, setidaknya dalam hal kesediaannya untuk mendengarkan komunitas 9/11 dan mendengarkan para anggota keluarga," kata Brett Eagleson, Presiden 9/11 Justice, yang ayahnya terbunuh dalam serangan tersebut, dilansir dari The National News 8 September.
Persyaratan kesepakatan pengakuan bersalah itu diajukan Khalid Sheikh Mohammed, orang yang dituduh merencanakan serangan teroris dan empat tahanan lainnya, meminta jaminan tambahan di antaranya tidak menghabiskan masa hukuman mereka di sel isolasi, serta diizinkan untuk makan dan berdoa dengan tahanan lainnya.
Mereka juga menginginkan program untuk membantu mengobati gangguan tidur, cedera otak dan masalah kesehatan lainnya yang menurut mereka merupakan hasil dari penyiksaan selama interogasi yang terjadi sebelum mereka dipindahkan ke Teluk Guantanamo.
"Salah satu alasan negosiasi pembelaan adalah, karena komisi militer Guantanamo telah gagal dan akan terus gagal dalam memberikan keadilan," kata Alka Pradhan, pengacara Ammar Al Baluchi dalam kasus ini, kepada The National News.
Pradhan mengatakan, Al Baluchi terus mengalami masalah medis yang serius terkait dengan penyiksaan yang dialaminya.
"Pemerintahan Biden menolak untuk memberikan perawatan medis yang diperlukan kepada orang-orang ini, yang merupakan pelanggaran hukum internasional yang terus berlanjut. Kami akan terus mengupayakan perawatan medis yang komprehensif dan rehabilitasi penyiksaan untuk al Baluchi," tandasnya.
Sementara, Presiden Biden dilaporkan memiliki keraguan untuk menerima kesepakatan pengakuan bersalah untuk orang-orang yang bertanggung jawab atas serangan paling mematikan di negara itu sejak Pearl Harbour 1941. Sekitar 3.000 orang di New York, Pennsylvania dan wilayah metropolitan Washington terbunuh dalam serangan tersebut.
Eagleson adalah salah satu dari lebih dari 2.000 anggota keluarga korban yang mendesak Presiden Biden untuk menolak syarat-syarat kesepakatan tersebut.
Namun, hal itu seharusnya hanya menjadi bagian dari proses untuk membuat keluarga korban merasa tenang, ujarnya.
"Bagian pertama adalah menolak kesepakatan pengakuan bersalah," kata Eagleson kepada The National News.
"Namun bagian kedua adalah untuk melihat kerja sama yang benar-benar nyata untuk selamanya dari pemerintah AS, bekerja sama dengan keluarga korban 11 September untuk mencoba memberikan penyelesaian," sambungnya.
Para pengacara yang mewakili keluarga korban 11 September telah mendesak Pemerintahan Presiden Biden dan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan apa yang diketahui AS mengenai siapa saja yang mendukung serangan teror tersebut.
Eagleson mengatakan, para keluarga harus "mencakar, menjerit dan berteriak serta menuntut potongan-potongan informasi" sejak serangan tahun 2001.
Dia juga mengatakan, mereka diberitahu oleh Departemen Pertahanan bahwa kesepakatan pengakuan bersalah masih bisa terjadi, namun Presiden Biden telah menolaknya dalam bentuknya yang sekarang.
"Tapi setidaknya untuk saat ini tampaknya kita telah menunda skenario terburuk, di mana pemerintahan Biden akan menandatangani kesepakatan yang akan mencegah orang-orang ini untuk berbicara dan mencegah orang-orang ini untuk diadili di depan umum," katanya.
"Saya rasa ini merupakan sinyal bahwa segala sesuatunya mulai bergerak ke arah yang benar," lanjutnya.
"Kami berharap dapat terus bekerja dan terlibat dengan pemerintah dan Presiden Biden, untuk akhirnya membawa kita pada penyelesaian setelah 22 tahun," tandasnya.
Sidang praperadilan telah diadakan di lokasi penjara di Kuba selama lebih dari satu dekade. Kasus ini diperumit oleh penyiksaan yang dilakukan CIA terhadap para terdakwa pada tahun-tahun pertama setelah serangan, yang mengarah pada pertanyaan hukum tentang penerimaan bukti selama persidangan, di antara kerumitan lainnya.
BACA JUGA:
Pengakuan dari Abd Al Rahim Al Nashiri, seorang terdakwa Teluk Guantanamo dalam kasus terpisah, diputuskan tidak dapat digunakan sebagai bukti karena penyiksaan yang dialaminya setelah tiba di pusat penahanan pada tahun 2007.
"Seperti yang ditunjukkan oleh keputusan Nashiri baru-baru ini, upaya pemerintah untuk menyiksa dan kemudian menggunakan bukti yang diperoleh dari penyiksaan terhadap orang-orang ini tidak memberikan manfaat yang baik bagi negara," jelas Pradhan.
Diketahui, tanggal persidangan untuk orang-orang yang dituduh merencanakan serangan 11 September masih belum dijadwalkan.