Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mau bicara banyak soal pemanggilan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin besok, Selasa, 5 September.

Hal ini disampaikan Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menanggapi informasi beredar besok Cak Imin akan diperiksa terkait kasus korupsi pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker). Dia akan dimintai keterangan karena menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja (Menaker) periode 2009-2014.

“Besok ditunggu saja,” kata Ali kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 4 September.

Meski belum menjawab tegas soal pemeriksaan Cak Imin, Ali berharap dia memenuhi panggilan sebagai saksi. Sebab, surat sebagai syarat pemanggilan sudah diserahkan.

“Sekali lagi harapan kami tentu hadir sesuai dengan surat panggilan yang sudah diberikan atau dikirimkan. Jadwal pemeriksaan saksi di KPK selalu mulai jam 10,” tegasnya.

“Jadi teman-teman besok ditunggu saja. Kami berharap siapa pun yang dipanggil KPK hadir sesuai surat panggilan,” sambung Ali.

Peluang pemanggilan Cak Imin ini memang sudah disampaikan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur. Dia bilang siapapun yang tahu kasus tersebut akan dimintai keterangan tanpa terkecuali.

“Semua pejabat di tempus (waktu) itu dimungkinkan kita minta keterangan,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur kepada wartawan ke gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 1 September.

“Kenapa? Karena kita harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya jangan sampai ada secara pihak si A menuduh si B, si C menuduh si B lalu si B tidak kita mintai keterangan kan itu janggal,” sambungnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK mengatakan ada tiga tersangka yang ditetapkan dalam kasus korupsi di Kemnaker ini. Meski belum disampaikan KPK, Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker I Nyoman Darmanta dikabarkan turut terlibat.

Adapun nilai proyek pengadaan sistem informasi yang diduga menjadi bancakan para pelaku mencapai sekitar Rp20 miliar. Wakil Ketua Alexander Marwata menyebut sistem ini diduga dikorupsi hingga akhirnya tak bisa digunakan untuk mengawasi TKI.

“Yang bisa komputer saja untuk mengetik dan lain sebagainya. Tapi, sistemnya sendiri enggak berjalan,” tegasnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 24 Agustus.