Kudeta Myanmar, Sanksi untuk Militer harus Bersifat Strategis
Blokade militer di depan Mandalay Region Goverment Office, Myanmar. (Wikimedia Commons/Kantabon)

Bagikan:

JAKARTA - Militer Myanmar melakukan pengambilalihan kekuasaan di Myanmar, setelah melakukan penangkapan terhadap Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint serta sejumlah tokoh lainnya pada Senin 1 Februari kemarin.

Dalih yang digunakan adalah kecurangan pada Pemilu 8 November 2020. Militer menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing yang kemudian mengangkat Myint Swe, wakil presiden pertama Myanmar sebagai Pajabat Presiden. Tindakan ini mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk ancaman sanksi.

"Sanksi yang dijatuhkan kepada Myanmar harus sanksi yang memiliki target strategis, kepada militer mereka. Kepada para petinggi militer Myanmar dan kroni-kroninya agar memberikan dampak," kata Aktivitas Demokrasi Burma (Myanmar) Khin Ohmar dalam webinar Selasa 2 Februari.

Ia menambahkan, kudeta militer merupakan hal yang menyedihkan dan tidak bisa diterima. Kudeta yang terjadi kemarin menurutnya, berpotensi mengganggu upaya perdamaian di dalam negeri Myanmar. 

Ancaman dan kecaman terhadap aksi ini juga datang dari pemimpin-pemimpin negara di dunia. Termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden

"Komunitas internasional harus bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Burma agar segera melepaskan kekuasaan yang mereka rebut, membebaskan para aktivis dan pejabat yang mereka tangkap," kata Biden dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters.

“Amerika Serikat mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi. Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap hukum dan otoritas sanksi kami, diikuti dengan tindakan yang sesuai," tegasnya.