Salah Persepsi Imigrasi Hapus DPO Joko Tjandra, Saksi Napoleon Bonaparte: Tanggung Jawab yang Menerbitkan
Pengadilan Tipikor (DOK. ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Dr. Nur Basuki menilai, Sekertaris NCB Interpol Indonesia harus bertanggungjawab atas surat yang dikirimkan ke Imigrasi. Sebab, surat itu berdampak pada kesalahan persepsi.

Pernyataan itu disampaikan Prof. Nur saat menjadi saksi meringankan untuk terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte dalam perkara dugaan suap penghapusan red notice.

Awal mula munculnya pernyataan itu ketika pengacara hukum terdakwa, Gunawan Raka meminta pendapat Prof. Nur perihal surat pemberitahuan dari Ses NCB yang disalahartikan oleh Imgrasi.

"Ada satu surat yang ditunjukkan ke imigrasian yang ditandangani Ses NCB, isi surat itu bersifat informatif yaitu memberitahukan red notice terdaftar di Lyon, kemudian Divhubinter mengetahui itu sudah delete permanen," ucap Gunawan Raka dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin, 1 Februari.

"Divhubinter melalui Ses NCB itu kirim surat pemberitahuan kepada imigrasi yang isinya menyampaikan bahwa red notice atas nama Joko Tjandra sudah delete permanen," sambung dia.

Gunawan menyebut, surat itu bersifat informatif karena hanya berisi pemberitahuan jika red notice Joko Tjandra sudah terhapus permanen. Tapi surat itu justru diartikan berbeda oleh Imigrasi.

Pihak Imigrasi beranggapan jika surat itu merupakan rekomendasi untuk menghapus daftar pencarian orang (DPO) untuk Joko Tjandra.

"Tapi pemberitahuan itu diartikan berbeda oleh Imigrasi, karena Imigrasi memberikan keterangan dasar penetapan sistem itu karena adanya red notice, sehingga mereka menghapus nama JST dari daftar nama tersebut," kata dia.

Dengan runutan itu, Gunawan pun melontarkan pertanyaan siapa yang harus bertanggungjawab. Sebab, perbedaan persepsi itu memberi dampak yang besar.

"Pertanyaan saya, rangkaian kegiatan itu, siapa yang bertanggung jawab dari sistem kausalitas (sebab akibat)?," tanya dia.

Lantas, Prof. Nur menjawab jika pihak yang harus bertanggungjawab yakni, pihak yang menerbitakan surat. Sebab, pihak yang sudah menandatangai surat itu merupakan penanggungjawab.

"Kalau di dalam surat tadi itu hanya sifatnya informatif, tidak melakukan suatu permohonan yang ditujukan ke instansi. Akan tetapi kemudian, instansi lain menerjemahkan berbeda, maka apabila terjemahan berbeda ini menimbulkan suatu akibat, maka yang bersangkutan, beliaulah yang harus bertanggungjawab," kata dia.

Bahkan, Prof. Nur menyebut seharusnya pihak yang menerbitakan surat itu harus segera membatalkan tujuan dari isi surat tersebut.

"Makanya mestinya kalau itu dianggap keliru, maka harusnya itu dibatalkan oleh pejabat yang membuat," kata dia. "Pejabat itu harus bertanggung jawab membatalkan," sambung dia.

Adapun, dalam kasus dugaan suap penghapusan red notice, penyidik menetapkan 4 orang sebagai tersangka hingga akhirnya masuk ke persidangan sebagai terdakwa.

Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo menjadi terdakwa karena diduga sebagai penerima suap penghapusan red notice. Sementara Tommy Sumardi dan Djoko Tjandra ditetapkan menjadi terdakwa dengan dugaan sebagai pemberi suap.