Bagikan:

JAKARTA - Mantan anak buah Irjen Napoleon Bonaparte, Kombes Tommy Aria Dwianto mengaku sempat berdebat dengan atasannya terkait surat perpanjangan red notice untuk Joko Tjandra.

Kombes Tommy Aria Dwianto dihadirkan sebagai saksi dalam kasus dugaan gratifikasi penghapusan red notice untuk terdakwa Joko Tjandra.

Perdebatan Tommy dengan Irjen Napoleon karena meyarankan surat red notice dikirim ke Kejaksaan Agung. Tapi menurutnya, Irjen Napoleon menolak dan memerintahkan untuk menyurati Imigrasi perihal red notice Joko Tjandra. 

"Kami pernah menyampaikan pada Pak Kadiv, lebih baik disampaikan ke Kejagung lebih dulu. Pak Kadiv menyampaikan Imigrasi yang lebih berwewenang mengawasi pelintasan orang di Bandara," ujar Tommy dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 26 November.

Keyakinan Tommy surat itu harus ditujukan ke Kejaksaan Agung karena Korps Adhyaksa itu sudah dua kali meminta perpanjangan red notice. Terlebih, Polri harus membalas surat permintaan perpajangan tersebut.

Namun dengan adanya perintah Irjen Napoleon, Tommy lantas menyurati pihak Imigrasi. Dia mengaku mengikuti arahan Napoleon sebagai pimpinan Divisi Hubungan Internasional (Hubinter).

"Menurut beliau itu adalah mekanisme yang biasa dilakukan. Tapi kami saat itu hanya perasaan saja saat itu," kata dia.

Dalam perkara ini, jaksa mendakwa Irjen Napoleon memberi perintah untuk menerbitkan surat yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. Surat itu diperuntukkan menghapus nama Joko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.

Dalam kasus dugaan suap penghapusan red notice, penyidik menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka berperan sebagai penerima dan pemberi. 

Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo ditetapkan sebagai tersangka karena diduga sebagai penerima suap penghapusan red notice. Sementara Tommy Sumardi dan Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan sebagai pemberi suap.