Bagikan:

JAKARTA - Pembicaraan rekonsiliasi antara faksi-faksi Palestina yang saling berseteru telah gagal mencapai kemajuan politik, kata para analis, meskipun ada tekanan yang meningkat untuk membentuk front persatuan melawan agresi Israel di Tepi Barat.

Presiden Mahmoud Abbas, dari partai Fatah, duduk bersama dengan kelompok-kelompok politik yang bersaingan, termasuk Hamas yang berbasis di Gaza, dalam sebuah pembicaraan di Kairo pada Hari Minggu yang disebut-sebut oleh beberapa pihak sebagai sebuah kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di antara organisasi-organisasi Palestina.

Presiden Abbas menggambarkan keretakan antara Hamas dan Fatah sebagai "nakba" hari ini, sebuah kata dalam bahasa Arab yang berarti bencana yang juga merujuk pada pemindahan massal warga Palestina selama pendirian negara Israel pada tahun 1948.

Penilaian ini muncul setelah berbagai upaya sebelumnya yang gagal untuk memperbaiki perbedaan-perbedaan yang ada, sejak kedua belah pihak berpisah pada tahun 2007.

Pada Minggu malam, Presiden Abbas hanya mengumumkan niat yang samar-samar untuk membentuk "komite tindak lanjut", yang dilihat sebagai tanda pembicaraan di Kairo tidak banyak menghasilkan apa-apa.

"Pembentukan komite bukanlah pertanda baik," kata Ghassan Khatib, mantan menteri Palestina, kepada The National News seperti dikutip 1 Agustus.

"Seandainya ada pencapaian, pasti sudah diumumkan sekarang," lanjutnya.

Upaya rekonsiliasi ini muncul ketika pemerintah sayap kanan Israel mendorong maju dengan salah satu agenda paling keras, terkait wilayah Palestina dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Tepi Barat yang diduduki.

pertemuan faksi palestina di kairo
Pertemuan faksi Palestina di Kairo, Mesir. (Twitter/@hamdahsalhut)

Hal ini mencakup peningkatan aktivitas permukiman, serangan militer yang hampir setiap hari terjadi dan operasi keamanan berskala besar di Kota Jenin, Palestina utara, pada awal bulan Juli.

Terlepas dari berbagai tantangan ini, perpecahan di antara organisasi-organisasi politik Palestina masih sangat mencolok, terutama antara Otoritas Palestina pimpinan Abbas dan Hamas.

Jihad Islam Palestina, organisasi militan yang bertanggung jawab atas serentetan tembakan roket ke wilayah Israel tahun ini, memboikot perundingan tersebut.

Terpisah, Hugh Lovatt dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa mengatakan perpecahan telah mengeras sejak Abbas membatalkan pemilihan umum nasional pada tahun 2021.

"Otoritas Palestina sekarang meningkatkan kampanye penahanan terhadap anggota Hamas dan Jihad Islam ketika mereka memperluas konfrontasi militer mereka terhadap Israel di Tepi Barat," terang Lovatt.

"Dengan latar belakang ini, rekonsiliasi Palestina masih jauh dari harapan," tandasnya.

Dalam pertemuan tersebut, saingan utama Abbas, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, menyerukan kepada warga Palestina untuk mengeksploitasi "perpecahan internal yang belum pernah terjadi sebelumnya" di Israel.

Diketahui, Israel saat ini sedang menyaksikan gerakan protes terbesar dalam sejarahnya, setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berusaha untuk meloloskan perombakan peradilan yang sangat kontroversial.

Haniyeh mengatakan, "jendela kesempatan ini mengharuskan Palestina untuk berpikir secara kolektif dan mengambil keputusan yang luar biasa".

Namun, Khatib mengatakan pendekatan kolektif tidak mungkin dilakukan, mengingat tuntutan-tuntutan Hamas yang cukup besar, jika mereka ingin bergabung dengan pemerintahan persatuan.

Ia mengatakan, desakan Hamas untuk bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas, sangat sulit diterima oleh para politisi arus utama Palestina.

Ada kekhawatiran jika Hamas, yang ditetapkan sebagai organisasi teror oleh sejumlah negara Barat, bergabung, hal itu akan merusak pengakuan PLO yang telah berlangsung selama puluhan tahun oleh masyarakat internasional sebagai satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina.

"Hamas tidak merasa berkewajiban untuk membuat konsesi dalam perundingan," jelas Khatib.

"Mereka berada dalam kendali yang nyaman atas Gaza dan memiliki popularitas yang sangat besar di Tepi Barat, karena citra mereka sebagai perlawanan yang sebenarnya," urainya

"Sementara Fatah, yang berada di bawah tekanan Israel, melihat popularitasnya menurun dengan cepat. Mereka adalah pihak yang membutuhkan kemitraan," tandas Khatib.

Kurangnya kemajuan terjadi meskipun ada upaya rekonsiliasi tingkat tinggi dari Mesir, yang menyelenggarakan pertemuan tersebut.

Selama berada di Mesir, Presiden Abbas juga mengatakan ia berniat untuk mengadakan pemilihan umum jika warga Palestina di Yerusalem Timur yang dicaplok Israel dapat berpartisipasi.

Diketahui, tidak adanya pemilihan presiden atau parlemen Palestina sejak 2006 menjadi alasan utama banyak pihak menganggap PA korup. Ada kekhawatiran di dalam organisasi bahwa suara akan hilang ke Hamas, yang dipandang oleh banyak orang Palestina sebagai lawan yang lebih kuat bagi Israel.

Setelah pembicaraan Hari Minggu, Presiden Abbas bertemu dengan Presiden Mesir Abdel Fattah El Sisi pada Hari Senin di kota pesisir New Alamein, menurut laporan kantor berita Palestina Wafa.