Bagikan:

BLITAR - Aparat Kepolisian Resor Blitar, Jawa Timur mengungkap kasus penjualan pestisida palsu yang diramu dari campuran berbagai macam pestisida dengan air.

Kasat Reskrim Polres Blitar AKP M Gananta mengemukakan pengungkapan kasus tersebut berawal dari aduan masyarakat yang mengeluhkan obat pembasmi rumput liar yang dibelinya tidak ampuh saat dipakai. Bukannya rumput mati, justru bertambah subur saat dipakai.

"Ada laporan masyarakat tentang obat pembasmi rumput liar yang harusnya untuk mematikan rumput, ternyata malah membuat rumput subur," katanya dikutip ANTARA, Jumat, 28 Juli.

Kepolisian kemudian melakukan penyelidikan kasus tersebut. Polisi curiga, pestisida untuk pembasmi rumput tersebut palsu.

Polisi mengungkap kasus tersebut dengan menggerebek lokasi produksi pestisida oplosan itu yakni di Desa Jeblog, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar.

Polisi mengamankan satu pelaku berinisial MF (22), yang merupakan warga Desa/Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Blitar.

Modus yang digunakan, kata Gananta dengan membeli pestisida dengan berbagai merek. Pestisida tersebut kemudian dicampur dengan bahan kimia lainnya serta air dan kemudian ditaruh kembali ke botol-botol.

"Dia membeli pestisida dioplos, dicampur. Dari hasil pemeriksaan, tersangka ini sudah satu tahun melakukan aksinya," kata dia.

Satu botol obat pertanian asli dioplos dengan air sumur dan dikemas lagi menjadi 3-4 botol obat pertanian palsu. Botol-botol tersebut kemudian diberi stiker obat pertanian merek tertentu dan dijual.

Obat-obat pertanian palsu tersebut dijual dengan harga lebih terjangkau mulai Rp40 ribu hingga Rp70 ribu per botol. Barang-barang tersebut kemudian dijual di wilayah Blitar dan kota-kota di sekitarnya.

Dalam aksinya, pelaku dibantu empat orang pekerja. Sehari, mereka bisa memproduksi hingga 20 karton yang masing-masing karton berisi 12 botol pestisida palsu.

Selain menahan pelaku, polisi juga menyita ratusan botol obat-obatan pertanian dengan berbagai merek. Saat ini, seluruh barang bukti juga sudah diamankan.

Polisi menjerat MF dengan Pasal 123 jo Pasal 75 huruf b, UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.