Rusia Akhiri Kesepakatan Biji-bijian Laut Hitam, Sekjen PBB: Ratusan Juta Orang Kelaparan, Konsumen Hadapi Krisis Biaya Hidup
Sekjen Interntional Maritime Organization IMO Kitack Lim saat meninjau biji-bijian yang akan diekspor. (Wikimedia Commons /International Maritime Organization)

Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Antonio Guterres memperingatkan, keputusan Rusia untuk menangguhkan partisipasinya dalam kesepakatan biji-bijian Laut Hitam akan menyebabkan pukulan kepada orang-orang yang membutuhkan di seluruh dunia.

"Ratusan juta orang menghadapi kelaparan dan para konsumen menghadapi krisis biaya hidup global. Mereka akan membayar harganya," kata Sekjen Guterres kepada para wartawan di New York, dilansir dari The National News 18 Juli.

"Pada akhirnya, partisipasi dalam perjanjian-perjanjian ini adalah sebuah pilihan," tambahnya, namun ia juga melanjutkan, "orang-orang yang sedang berjuang di mana-mana dan negara-negara berkembang tidak memiliki pilihan lain."

Penangguhan ini menandai berakhirnya kesepakatan yang ditengahi oleh PBB dan Turki setahun yang lalu, setelah lebih dari 32 juta ton makanan diekspor dari Ukraina, dengan lebih dari separuhnya dikirim ke negara-negara berkembang, menurut Pusat Koordinasi Bersama di Istanbul.

Lebih jauh, Sekjen Guterres juga mengatakan ia "sangat" kecewa karena proposal baru untuk memperpanjang kesepakatan yang dikirimkan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin tidak diindahkan.

Ia mengatakan, PBB tidak akan berhenti dalam upaya-upaya untuk memungkinkan "akses tanpa hambatan" ke pasar-pasar global untuk produk-produk makanan dan pupuk dari Ukraina dan Rusia.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut langkah Rusia untuk mengakhiri kesepakatan "tidak masuk akal".

"Ini harus dipulihkan secepat mungkin. Dan saya harap setiap negara memperhatikan hal ini dengan seksama," ujar Menlu Blinken.

"Mereka akan melihat bahwa Rusia bertanggung jawab untuk menolak memberikan makanan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan di seluruh dunia, berkontribusi terhadap kenaikan harga di saat banyak negara terus mengalami inflasi yang sangat sulit," sambungnya.

Terpisah, Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock mengatakan kepada para wartawan di New York, Presiden Putin menggunakan "kelaparan sebagai senjata untuk melawan seluruh dunia dalam perang agresinya yang brutal".

"Fakta bahwa Presiden Rusia telah mengumumkan , ia sekali lagi menghentikan Inisiatif Laut Hitam, yang membawa biji-bijian dari Ukraina ke seluruh dunia, memperjelas tidak peduli dengan negara-negara yang paling lemah di dunia," ujarnya.

Adapun Richard Gowan, yang mengawasi upaya advokasi Crisis Group di PBB, mengatakan kepada The National, Rusia menunjukkan sikap yang lebih agresif terhadap badan dunia tersebut.

Selama bagian awal konflik Ukraina, Rusia menunjukkan kesediaan untuk berkompromi dengan negara-negara Barat dalam masalah-masalah yang menantang di dalam PBB, katanya.

"Tampaknya Rusia ingin mempertahankan PBB sebagai platform untuk negosiasi," kata Gowan.

"Namun, pada Bulan lalu, kami melihat Rusia membantu Mali dalam mengusir pasukan penjaga perdamaian dari wilayahnya dan kemudian menghalangi resolusi kemanusiaan mengenai Suriah," sambungnya.

"Rusia semakin meremehkan PBB. Dengan Ukraina yang terus melancarkan serangan balasannya, Moskow melihat sedikit alasan untuk berkompromi dengan isu-isu internasional lainnya melalui PBB," tandas Gowan.