Bagikan:

JAKARTA - Pakar Geologi Teknik dan Hidrogeologi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arya Pranantya menyebut Sungai Ciliwung bisa dikembangkan menjadi salah satu energi baru terbarukan (EBT).

EBT yang dimaksud adalah hydropower, yang mana merupakan energi alternatif untuk menghasilkan daya listrik dengan memanfaatkan air untuk menyalakan mesin.

Namun, Arya menyebut saat ini potensi itu tidak bisa dimaksimalkan karena tidak memenuhi dua syarat yakni stabilitas debit air dan ketinggian tekanan air untuk menghasilkan energi.

Sementara di sisi lain, 40 persen wilayah Jakarta itu berada di wilayah dataran rendah. Hal ini diungkapkan dalam rapat Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta yang tengah menyusun Raperda tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

“Debit (air Ciliwung) yang sekarang bisa kita pakai cuma sekitar 0,73 meter3/detik atau 730 liter per detik untuk sungai Ciliwung. Dengan debit 0.73 meter kubik terus kita butuh ketinggian 18 meter (untuk mencapai ketinggian tekanan air)," ungkap Arya, dikutip Jumat, 7 Juli.

"Tapi kita cuma punya energi hanya 0,1 MW. Dan 0,1 MW ini kita harus membuat tanggul dari ujung Utara Jakarta sampai ujung Selatan Jakarta. Jadi infrastruktur yang harus kita bangun segitu banyak,” tambahnya.

Selain dua faktor itu, lanjut Arya, banyak juga kendala-kendala teknis di lapangan yang menghambat potensi Sungai Ciliwung sebagai EBT.

Misalnya, kualitas air Ciliwung yang tidak bagus, sumbatan jalan dan jembatan yang sulitkan pembangunan infrastruktur sehingga penggunaan air Ciliwung sebagai sumber EBT sulit diwujudkan.

“Ini yang membuat bagaimana sih sebetulnya hidro power ini agak sulit diimplementasikan di DKI Jakarta,” ungkapnya.

Sementara itu, Pakar Kelistrikan dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB) Syarif Hidayat mengungkapkan, merujuk pada data hasil riset lembaga Energi Reform, potensi EBT di Jakarta berasal dari dua teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yakni PLTS yang dipasang di rooftop (atap) rumah atau gedung dan PLTS yang dipasang sebagai kaca dinding gedung. Totalnya mencapai 352 MW. Kedua teknologi itu memiliki keunggulan masing-masing.

“Dari segi investasi, sebenarnya sih hampir sama secara umum. Tinggal pilih mau pakai yang mana. Dan itu sangat potensial. Teknologinya sudah ada. Bahkan tenaga ahli yang membuatnya, Indonesia punya. Kita sudah siap,” ujarnya.

Sebagai informasi, Bapemperda DPRD DKI Jakarta akan memasukan pasal khusus mengenai kewajiban penggunaan EBT dalam Rancangan Perda (Raperda) tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Pasal itu diharapkan akan menjadi tindakan nyata DKI Jakarta untuk melindungi lingkungan dan menjaga kondisi bumi lebih baik. Berdasarkan naskah akademis Raperda tersebut, faktor terbesar penghasil emisi karbon, meningkatnya suhu bumi hingga polusi udara terjadi karena pembangkit listrik tenaga fosil.

“Artinya apa, harus ada upaya yang maksimal dan sebaiknya tercantum dalam Raperda ini untuk pembangkit listrik yang akan kita gunakan atau kita prioritaskan adalah yang berbasis EBT, bukan yang berbasis fosil,” tutur Anggota Bapemperda DPRD DKI Jakarta Ismail.