JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan bahwa penurunan harga dasar gas bagi kepentingan industri dapat menjadi momentum pendorong dalam peningkatan hasil produksi.
“Ini menjadi penting dalam aktivitas kami. Tetapi pemerintah harus mengimbanginya lagi dari sisi penguatan daya saing industri, seperti pembatasan pelabuhan impor tertentu dan penetapan minimum import price,” ujarnya dalam keterangan pers, Senin, 25 Januari.
Kombinasi kebijakan penurunan bahan baku produksi dan juga perlindungan tarif impor diyakini Edy dapat membawa industri keramik dalam negeri merengkuh kejayaan seperti beberapa tahun silam. Bahkan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi negara penghasil keramik terbesar keempat di dunia.
“Secara kapasitas dan kemampuan, industri keramik kita telah mampu memenuhi kebutuhan nasional. Namun, kami juga terus mendorong pemanfaatan teknologi modern guna menciptakan produk yang inovatif dan kompetitif,” tuturnya.
Sebagai informasi, pada sepanjang tahun lalu wabah pandemi menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan industri, termasuk sektor keramik. Utilisasi industri keramik sempat menurun menjadi 30 persen pada kuartal II 2020, namun mulai beranjak naik hingga 60 persen di kuartal III 2020.
BACA JUGA:
Peningkatan tersebut tidak terlepas peran dari implementasi kebijakan harga gas industri sebesar 6 dolar AS per MMBTU.
“Utilisasi kembali kepada kondisi normal dengan mencapai 70 persen saat kuartal IV 2020. Selain itu, dampak penurunan harga gas untuk industri keramik, berhasil membuat volume ekspor meningkat 29 persen di kuartal III 2020 secara tahunan,” tegasnya.
Adapun, kekuatan industri ubin keramik di Indonesia ditopang oleh 37 perusahaan yang tersebar di Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Total kapasitas produksi terpasang sebesar 537 juta m2 (8,14 juta ton) per tahun yang menyerap tenaga kerja hingga 150 ribu orang.