Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri menjadi 6 dolar AS per Million British Thermal Unit (MMBTU) atau setara dengan Rp85.662 per MMBTU (asumsi Rp14.277 per dolar AS) harus diseimbangkan dengan penerimaan pajak industri.

Menurut Tauhid Ahmad penurunan harga gas akan mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak bumi dan gas (migas). Untuk itu, diperlukan penambahan pajak dari industri yang menggunakan bahan bakar gas tersebut.

"Harus diseimbangkan, antara penerimaan di hulu dengan pajak industri," katanya dalam keterangan yang dikutip Minggu 1 Maret.

Lebih jauh Tauhid mengingatkan, sebelum diputuskan besaran penurunan harganya, pemerintah harus menghitung secara cermat dampaknya dan itu harus realistisi.

"Saya kira harus realistis, mungkin tidak 6 dolar AS per MMBTU, tapi di harga yang paling menguntungkan semua pihak," lanjutnya.

Sebagai negara eksportir gas, Tauhid menilai harga gas industri Indonesia tergolong mahal. Namun ia beralasan mahalnya harga gas itu salah satunya karena lokasi sumber gas yang berada di pulau-pulau yang menguras harga produksi. Sementara 70 persen harga gas hilir dipengaruhi oleh harga gas di hulu tersebut.

“Saat ini harga gas industri berada pada rentang 9-12 dolar AS atau sekitar Rp125.676-Rp167.568 per MMBTU. Angka itu jauh di atas harga gas internasional yang berkisar 4-5 dolar AS per MMBTU atau cenderung berdekatan dengan fluktuasi harga minyak dunia," lanjut Tauhid.

Ia kemudian mencontohkan di Thailand  harga gas di hulu sebesar 7 dolar AS per MMBTU dan Malaysia sebesar 5,5 dolar AS per MMBTU. Bahkan, China yang notabene memiliki ekonomi kuat pun mematok harga gasnya di 8 dolar AS per MMBTU. Belum termasuk biaya penyaluran gas melalui pipa atau non pipa. Sementara harga gas di Singapura justru di atas 15 dolar AS per MMBTU. 

Terkait dengan wacana penurunan harga gas ini, sesuai Perpres Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, terdapat tujuh industri yang berhak mendapatkan harga gas 6 dolar AS per MMBTU, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet.

Desakan Turunkan Harga Gas Industri

Pelaku industri terus mendesak agar Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dapat segera terealisasi. Melalui amanat regulasi tersebut, pemerintah menjanjikan penurunan tarif gas industri ke level 6 dolar AS per MMBTU.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat meyakini, penurunan harga gas industri akan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen dan terwujudnya aktivitas hilirisasi di Indonesia.

“Selama empat tahun lamanya, pelaku industri oleokimia menantikan regulasi itu bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan. Apalagi, industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang masuk dalam Perpres,” paparnya.

Pada Perpres No 40/2016 menyebutkan, tujuh sektor yang mendapatkan ketetapan harga gas industri sebesar 6 dollar AS perMMBTU, yakni industri oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Berdasarkan data Apolin, kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7-13,9 juta per MMBTU dari 11 perusahaan anggota Apolin. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rerata 10-12 dollar AS per MMBTU. Variasi harga gas untuk industri oleokimia itu bergantung lokasi dan jarak.

Dalam struktur biaya produksi, biaya gas berkontribusi sekitar 10-12 persen untuk produksi fatty acid dan sebesar 30-38 persen dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya. Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp14.300 per dolar AS, disebutkan akan ada penghematan 47,6-81,8 juta dolar AS per tahun atau Rp0,68-1,1 triliun per tahun.

Selain itu, penurunan harga gas dinilai akan berdampak pada peningkatan investasi baru, penambahan kapasitas produksi, perluasan kesempatan kerja, dan ikut terpacunya daya saing produk-produk oleokimia lndonesia ke negara tujuan ekspor sehingga akan lebih besar perolehan devisa.