Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengungkap, aktivitas penyaluran kredit yang masih lemah menjadi penyebab utama menumpuknya dana nasabah dalam bentuk simpanan di perbankan.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, tersendatnya fungsi intermediasi perbankan tersebut bukan merupakan indikasi positif dari sebuah kegiatan perekonomi. Pasalnya, penyaluran kredit yang loyo merupakan bukti masih tertahannya kegiatan produksi pelaku usaha sebagai buntut dari penurunan permintaan masyarakat.
“Posisi likuiditas perbankan saat ini masih sangat longgar karena dananya tidak ada yang mau pinjam. Bahkan, beberapa korporasi sampai mengembalikan dana yang dipinjam ke bank karena memang belum digunakan,” ujarnya saat menggelar konferensi pers virtual usai Rapat Dewan Gubernur pada Kamis, 22 Januari.
Perry menambahkan, upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan memperbesar sisi permintaan dari pasar agar mendorong pelaku usaha semakin produktif. Sehingga, kebutuhan permodalan akan meningkat seiring dengan demand yang tinggi.
“Nah, bagaimana untuk menumbuhkan permintaan dari masyarakat? Pemerintah bisa melakukan ekspansi fiskal dengan banyak cara guna mempertahankan konsumsi masyarakat. Nanti BI akan masuk dari sisi operasi moneter,” tuturnya.
Bos bank sentral itu juga menolak apabila terus memangkas suku bunga acuan sebagai stimulus pendorong kredit. Sebab, dia mengungkapkan bahwa pemotongan rate interest tidak serta merta dapat langsung diadopsi oleh lembaga jasa perbankan dalam waktu singkat.
“Suku bunga saat ini sudah rendah sekali. Kami melihat belum ada ruang untuk memangkas kebijakan BI rate. Meski begitu, BI tetap akomodatif agar bisa mendorong pemulihan ekonomi,” tegasnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Januari 2021 memutuskan untuk memertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,75 persen.
Otoritas moneter juga mengungkapkan bahwa suku bunga Deposit Facility sebesar 3,0 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,50 persen.
BACA JUGA:
Perry mengatakan keputusan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk mendukung pemulihan ekonomi.
“Bank Indonesia memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas terkait lainnya dan mendukung berbagai kebijakan lanjutan untuk membangun optimisme pemulihan ekonomi nasional,” imbuhnya.
Mengutip siaran terbaru BI, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) meningkat pada Desember 2020 didorong oleh komponen uang beredar dalam arti sempit (M1).
Posisi M2 pada Desember 2020 sebesar Rp6.900,0 triliun atau meningkat 12,4 persen YoY. Peningkatan tersebut didorong oleh M1 yang tumbuh sebesar 18,5 persen YoY.
Berdasarkan faktor yang memengaruhi, peningkatan M2 pada Desember 2020 disebabkan oleh tiga hal utama. Pertama adalah pertumbuhan kredit terkontraksi lebih dalam menjadi minus 2,7 persen YoY per Desember 2020 dari sebelumnya minus 1,7 persen pada November 2020.
Dua faktor lain yang menjadi pemicu banjir likuiditas adalah aktiva luar negeri bersih dan tagihan bersih kepada pemerintah pusat.