Ada Angin Sejuk untuk Sektor Ekonomi Indonesia Pasca Pelantikan Presiden AS Joe Biden
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Presiden AS terpilih Joe Biden beberapa waktu lalu. (Foto: Tangkap layar Instagram Joko Widodo @Jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Inaugurasi Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sesaat setelah dilantik menyiratkan sinyal positif bagi proyeksi ekonomi global ke depan, tidak terkecuali untuk Indonesai. Biden, yang telah disahkan menjadi Presiden AS ke-46 itu menyebut akan tetap menjalankan kebijakan yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya.

Salah satu yang menjadi kunci adalah soal dukungan bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed untuk tetap membanjiri pasar dengan meningkatkan uang beredar. Kebijakan yang jamak disebut dengan pelonggaran kuantitatif alias quantitative easing itu dipercaya menjadi sumber melimpahnya dana asing masuk ke emerging market.

Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu yang diuntungkan atas pilihan AS yang konsisten mengguyur pasar keuangannya dengan kucuran The Fed.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual usai menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pertama di 2021 menyebut bahwa Presiden Biden membawa angin sejuk bagi perekonomian Indonesia.

“Kami ikuti proses i inaugurasi Presiden Joe Biden yang sangat ‘menyejukkan’, di mana mereka melakukan upaya percepatan pemulihan ekonomi di AS namun tetap menjaga kondisi keuangan global positif,” ujarnya, Kamis, 21 Januari.

Bos BI itu pun langsung tancap gas dengan mematok target tinggi. Dalam hitung-hitungannya, Perry yakin pasar saham di Tanah Air dapat menyerap investasi portofolio global sebesar 19,1 miliar dolar AS pada sepanjang 2021. Angka ini cukup agresif jika dibandingkan realisasi capaian tahun lalu yang disebutnya sebesar 11 miliar dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. (Foto: Dok. Bank Indonesia)

Padahal, otoritas moneter meyakini bahwa pemerintah AS mempunyai ruang untuk mengoreksi kebijakan quantitative easing serta mengoptimalkan ekspansi fiskal mereka sebagai pendorong pemulihan ekonomi.

“Terutama juga terhadap ekspektasi kenaikan yield US treasury. Tetapi dengan pernyataan yang menyejukan tersebut yield, US treasury kemudian juga mengalami penuruan dan kondisi pasar keuangan global juga semakin baik,” tuturnya.

Sebagai informasi, strategi pelonggaran kuantitatif yang dilakukan negara Paman Sam merupakan respon atas krisis keuangan yang terjadi pada 2008. Saat itu, AS dilanda guncangan ekonomi hebat yang berakar pada buruknya kualitas kredit pemilikan rumah (KPR) akibat nasabah yang gagal bayar.

Krisis ini pun berbuntut panjang dan menjelma menjadi krisis keuangan global hingga sebagian negara di Eropa merasakan akibatnya.

Otoritas berwenang di AS akhirnya melakukan tindakan untuk menyelamatkan perekonomian. Pemerintah dan The Fed membangun kerjasama guna menanggulangi dampak ini. Pada November 2008, bank sentral AS disebutkan menjadi pembeli surat utang yang diterbitkan oleh lembaga pembiayaan KPR, terutama yang dimiliki oleh pemerintah. Tidak hanya itu, The Fed juga mengucurkan likuiditas melalui pembelian surat utang negara.

Tujuannya tidak lain untuk mendorong roda perekonomian agar semakin panas. Dana yang diterima dari bank sentral itu lalu digunakan menggenjot  penyaluran kredit. Atau, jika memilih risiko yang lebih aman dan imbal hasil baik, dana tersebut diparkir dalam bentuk pembelian surat utang maupu investasi portofolio tertentu di negara berkembang yang menawarkan yield menarik. Salah satu yang ketiban untung atas sistem ini adalah Indonesia.

“Kita beruntung bahwa Indonesia adalah salah satu negara tujuan investasi portofolio global,” kata Gubernur BI.

Berdasarkan informasi yang dihimpun VOI, tepat hingga tengah bulan ini atau 15 Januari, asing mencatatkan nilai beli bersih di pasar saham Indonesia sebesar Rp10,5 triliun atau setara 752 juta dolar AS (kurs Rp13.900). Ini pula yang menjadi sebab indeks harga saham gabungan (IHSG) berada dalam tren penguatan dengan catatan 6.418 pada sesi penutupan kemarin, Kamis 21 Januari.

Peringatan Chatib Basri

Dalam sebuah tulisan, Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri menyatakan bahwa saat ini Indonesia dan sejumlah negara emerging markets lainnya tengah menikmati banjir likuiditas. Masuknya dana asing dalam bentuk dolar tersebut membantu Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Sisi positif lain adalah kita bisa terhindar dari ancaman inflasi yang disebabkan karena adanya perubahan harga di luar negeri dan atas perubahan nilai tukar (imported inflation). Tapi perlu diingat, pemerintah Indonesia tidak bisa terus-menerus dimanjakan oleh efek quantitative easing.

Akan sangat berbahaya jika The Fed akhirnya mengubah orientasi kebijakan dengan melakukan tindakan pengetatan kuantitatif. Dampaknya pun bisa ditebak. Bakal terjadi capital flight alias keluarnya dana asing dari pasar keuangan dalam negeri yang menjadi ancaman nyata untuk stabiitas nilai tukar rupiah plus kekhawatiran imported inflation.

Apabila hal tersebut sampai terjadi, Chatib cemas cadangan devisa bakal ikut tergerus. Alhasil, pelaku usaha di dalam negeri akan kesulitan untuk bisa mendatangakan barang modal agar dapat beraktvitas produksi. Jika ini terjadi maka roda perekonomian nasional dipastikan tersendat dan cita-cita mempercepat pemulihan ekonomi hanya angan-angan.

Ilustrasi uang. (Irfan Meidianto/VOI)

“Cara paling efektif untuk bisa mendapatkan ketahanan invesatasi adalah melalui skema investasi langsung (foreign direct investment/FDI). Karena gak mungkin mereka (investor) menanamkan modalnya di Indonesia dengan bangun pabrik, trus ada shock mereka langsung bawa pabriknya pulang. Hal berbeda jika investasinya portofolio, ada shock sedikit mereka bisa kabur bawa uangnya,” kata Chatib.

Dia juga menyebut bahwa investas asing yang masuk ke Indonesia belakangan ini didominasi oleh investasi portofolio yang memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan dengan FDI.

Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) sendiri mencatat hingga akhir kuartal III/2020 realisasi investasi langsung oleh asing sebesar Rp301,7 triliun atau turun 5,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Koreksi tersebut dipercaya merupakan buntut melemahnya ekonomi global akibat pandemi,

"Nah, tugas pemerintah adalah bagaimana menarik lebih banyak lagi investasi langsung masuk ke dalam negeri. Caranya bagaimana? Dengan menciptakan iklim usaha yang kompetitif agar pemodal-pemodal asing itu tidak lari ke negara lain,” tegasnya.