Amerika Serikat dan Arab Saudi Sebut Faksi Militer Sudan yang Bertikai Sepakat Perpanjang Gencatan Senjata
Tangkapan layar kamp pengungsi warga Sudan di Chad. (Wikimedia Commons/VOA/Henry Wilkins)

Bagikan:

JAKARTA - Faksi militer Sudan yang bertikai pada Senin menyetujui perpanjangan gencatan senjata selama lima hari, setelah bentrokan hebat dan serangan udara baru di ibu kota menimbulkan keraguan baru pada efektivitas gencatan senjata yang dirancang untuk meredakan krisis kemanusiaan.

Arab Saudi dan Amerika Serikat, yang menengahi kesepakatan gencatan senjata selama seminggu dan memantaunya dari jarak jauh, mengumumkan sesaat sebelum berakhir pada Senin malam, para pihak telah setuju untuk memperpanjangnya.

Meskipun gencatan senjata tidak diamati dengan sempurna, hal itu memungkinkan pengiriman bantuan kepada sekitar dua juta orang, kata kedua negara dalam pernyataan bersama.

"Perpanjangan akan memberikan waktu untuk bantuan kemanusiaan lebih lanjut, pemulihan layanan penting dan diskusi potensi perpanjangan jangka panjang," kata pernyataan itu, melansir Reuters 30 Mei.

Sumber yang mengetahui kesepakatan baru mengatakan, diskusi tentang amandemen untuk membuat gencatan senjata lebih efektif terus berlanjut.

Beberapa jam sebelum ditandatangani, penduduk melaporkan pertempuran di ketiga kota yang bersebelahan yang menjadi ibu kota Sudan yang lebih besar di sekitar pertemuan Sungai Nil - Khartoum, Omdurman dan Bahri. Intensitas pertempuran lebih besar dari tiga hari terakhir, kata mereka.

Diketahui, militer Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) terjebak dalam perebutan kekuasaan yang meletus menjadi konflik pada 15 April, yang sejauh ini telah menewaskan ratusan orang dan mengusir hampir 1,4 juta orang dari rumah mereka.

Serangan udara, yang digunakan tentara untuk menargetkan pasukan RSF yang berlindung di lingkungan sekitar ibu kota, terdengar di Omdurman pada Senin sore, kata penduduk.

"Sejak kemarin malam terjadi pengeboman dengan segala jenis senjata antara tentara dan Rapid Support," kata Hassan Othman, warga Omdurman kepada Reuters melalui telepon.

"Kami dalam keadaan sangat ketakutan. Di mana gencatan senjata?" tanyanya.

Pada hari-hari terakhir, kesepakatan gencatan senjata telah menghentikan pertempuran sengit, meskipun bentrokan sporadis dan serangan udara terus berlanjut.

Sebelumnya, Arab Saudi dan Amerika Serikat mengatakan kedua belah pihak telah melakukan berbagai pelanggaran gencatan senjata, serta menghambat akses kemanusiaan dan pemulihan layanan penting.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan Sudan mengatakan lebih dari 700 orang tewas akibat pertempuran itu, meskipun angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi karena kesulitan yang dialami pekerja kesehatan dan bantuan dalam mengakses zona konflik.

Sedangkan pemerintah secara terpisah mencatat sekitar 510 kematian di El Geneina, salah satu kota utama di Darfur, wilayah barat yang sudah dilanda konflik dan pengungsian.

Di Khartoum, pabrik, kantor, rumah, dan bank telah dijarah atau dihancurkan. Listrik, air, dan telekomunikasi sering terputus, obat-obatan dan peralatan medis sangat langka dan persediaan makanan hampir habis.

Terpisah, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok bantuan mengatakan, meskipun ada gencatan senjata, mereka berjuang untuk mendapatkan persetujuan birokrasi dan jaminan keamanan, untuk mengangkut bantuan dan staf ke Khartoum dan tempat lain yang membutuhkan.

Adapun WFP mengatakan telah memulai distribusi selama tiga hari di ibu kota pada Sabtu, menjangkau lebih dari 12.000 orang di Omdurman di daerah-daerah yang dikuasai tentara serta RSF. Dikatakan, pihaknya berencana untuk menjangkau setidaknya 500.000 orang di Khartoum.

WFP memperkirakan hingga 2,5 juta orang di Sudan akan kelaparan dalam beberapa bulan mendatang, meningkatkan jumlah orang yang terkena dampak ketahanan pangan akut menjadi lebih dari 19 juta, atau 40 persen dari populasi.