Bagikan:

JAKARTA - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan mafia tanah senilai Rp1,8 triliun di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara.

"Bahwa penyidik Unit V Subdit III Sumber Daya Lingkungan Hidup (Sumdaling) Ditreskrimsus telah menetapkan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan dan atau menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik memakai akta seolah-olah isinya sesuai kebenaran dan turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Auliansyah Lubis dilansir ANTARA, Rabu, 24 Mei.

Penetapan tersangka tersebut tertuang dalam surat pemberitahuan penetapan tersangka nomor B/6942/V/RES.1.9./2023/Ditreskrimsus tertanggal 23 Mei 2023.

Auliansyah menjelaskan, tiga tersangka tersebut, yakni MD alias Muhammad Dawud, YS alias Yan Shofian dan TP alias Tonny Permana.

"Ketiga tersangka disangkakan Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja, baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat, dan Pasal 266 KUHP tentang menyuruh memasukkan keterangan palsu dengan maksimal hukuman 7 tahun," katanya.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga membenarkan adanya proses penyidikan terhadap perkara mafia tanah ini. Namun Kejati masih menunggu pemberkasan yang tengah dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya.

"Kalau SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) masuk per Senin 13 Maret 2023," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati DKI Jakarta, Ade Sofyansah saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Kasus ini bermula dari seorang warga asal Karawang, Jawa Barat, Muckhsin membuat laporan ke Polda Metro Jaya setelah merasa menjadi korban mafia tanah atas sebidang tanah seluas 4,5 hektare di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara.

 

Laporan tersebut diterima oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dengan nomor laporan LP/B/194/I/2022/SPKT/Polda Metro Jaya, tertanggal 2 Januari 2022.

Pengacara Muckhsin, Supri Hartono menjelaskan, lama proses kasus ini karena terkendala pemeriksaan terhadap tersangka TP yang berdomisili di Singapura.

TP sampai ditetapkan sebagai tersangka tidak pernah memenuhi panggilan penyidik.

"Dikirim panggilan pada saat penyelidikan 2 kali dikirim, dan saat penyidikan 2 kali dikirim, jawabannya pun sama nggak bisa diperiksa, alasannya belum bisa ke Indonesia segala macem," katanya.