Bagikan:

JAKARTA - Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah resmi ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Langkah maju DPR tersebut dinilai sebagai bentuk keberpihakan lembaga perwakilan rakyat itu kepada kelompok rentan.

Pengesahan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR digelar dalam rapat paripurna DPR pada 21 Maret lalu. Adapun pengambilan keputusan oleh dewan terhadap RUU PPRT tersebut dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.

DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani pun dinilai telah melakukan langkah maju mengingat RUU PPRTa telah diperjuangkan oleh sejumlah kalangan selama hampir dua dekade.

"Ditetapkannya RUU PPRT sebagai inisiatif DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani merupakan kabar baik di tengah semakin meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh para pekerja domestik yang mayoritas adalah perempuan," ungkap Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Luky Sandra Amalia, Selasa 16 Mei.

Untuk diketahui, RUU PPRT telah diajukan sejak tahun 2004 dan masuk dalam Prolegnas di setiap periode masa bakti DPR. Amalia menilai, kepemimpinan Puan sebagai Ketua DPR telah berpengaruh cukup besar terhadap kemajuan dari RUU PPRT di mana hal tersebut terlihat dengan disahkannya RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR di periode masa bakti DPR yang dipimpin oleh Puan.

"Setelah terbengkalai selama hampir empat kali periode jabatan DPR yang diketuai laki-laki, akhirnya DPR periode 2019-2024 di bawah kepemimpinan seorang perempuan, Puan Maharani, kembali menunjukkan keberpihakannya untuk melindungi kelompok rentan," tuturnya.

"Yaitu pekerja rumah tangga dan pekerja migran melalui RUU PPRT ini," imbuh Amalia.

Penulis buku 'Evaluasi Pemilihan Presiden Langsung di Indonesia' itu mengatakan, PRT baik yang bekerja di dalam negeri atau pekerja migran Indonesia (PMI) membutuhkan payung hukum khusus yang melindungi hak-hak mereka. Hal ini mengingat, kata Amalia, para PRT sebagai pekerja di sektor domestik selama ini tidak pernah dianggap sebagai bagian dari kelompok pekerja.

"Payung hukum khusus untuk PRT tidak hanya melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja, tapi juga sekaligus dapat mengatur hubungan kerja yang aman dan tidak merugikan ketika mereka berhadapan dengan pemberi kerja," sebutnya.

Ditambahkan Amalia, RUU PPRT pun menjamin rasa aman dan perlindungan dari negara kepada pekerja migran di luar negeri. Apalagi PMI di sektor domestik seringkali mengalami kekerasan dan pelecehan seksual karena disebabkan ketiadaan payung hukum dari Indonesia sendiri.

"Oleh sebab itu, DPR harus segera menindaklanjuti RUU inisiatif ini. Kita semua tentu berharap bahwa RUU ini tidak berhenti sebagai inisiatif DPR saja, tetapi harus terus diperjuangkan hingga DPR mengesahkan RUU ini menjadi Undang-Undang PPRT," ungkap Amalia.

Menurut Mahasiswa PhD di University of Sydney itu, idealnya DPR mengesahkan RUU PPRT di tahun ini. Hal tersebut lantaran tahun depan merupakan tahun politik sehingga fokus anggota DPR dapat bergeser ke hal lain.

"Perjalanan RUU PPRT ini mungkin tidak mudah, akan banyak ganjalan, tetapi bukan berarti tidak mungkin," tegas Aktivis perempuan dari Sarinah Institute itu.

Oleh karenanya, Amalia mengajak semua pihak untuk terus mengawal pembahasan RUU PPRT. Khususnya para para aktivis perempuan, aktivis pekerja rumah tangga dan pekerja migran.

"Bersama dengan Ketua dan anggota DPR perempuan, kita harus terus mengawal jalannya RUU PPRT ini, mumpung ketua DPR-nya perempuan," ucap Amalia.

Kerja sama dan sinergi yang baik dari semua stakeholder disebutnya akan membuahkan hasil positif. Amalia mengingatkan hal serupa telah terbukti dalam pengesahan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang juga terjadi di era kepemimpinan Puan sebagai Ketua DPR.

"Kolabosari yang baik antara aktivis perempuan dengan ketua dan anggota DPR perempuan merupakan strategi yang baik untuk memperjuangkan kepentingan perempuan pekerja yang rentan menjadi korban kekerasan," urainya.

"Dan jangan lupa, kolaborasi serupa pernah berhasil dalam mendesakkan RUU TPKS menjadi UU TPKS setelah hampir 10 tahun tertunda," imbuh Amalia.

Sebelumnya, DPR resmi mengesahkan RUU PPRT sebagai Inisiatif DPR. Ketua DPR Puan Maharani yang memimpin pengesahan RUU itu pun mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan, termasuk dari aktivis dan perwakilan PRT yang ikut memantau pengesahan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR.

"Terima kasih Bu Puan, hidup Bu Puan, hidup Bu Puan," teriak perwakilan aktivis dan PRT, sesaat setelah RUU PPRT diketok sebagai RUU Inisiatif DPR, Selasa (21/3).

Puan pun sempat berdialog dengan perwakilan PRT di Gedung DPR dan berjanji akan menyediakan waktu untuk berdiskusi khusus dengan mereka. Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR itu juga meminta agar kelompok perwakilan PRT dan aktivis tetap bersinergi sehingga RUU PPRT dapat segera direalisasikan menjadi undang-undang.

"Lain kali kita ketemu untuk saya dengar masukannya bagaimana. Yang penting kita sama-sama gotong royong. Pokoknya jangan ada yang merugikan, semua harus bermanfaat," ungkap Puan.

DPR sendiri telah membuat dua klaster terkait substansi RUU PPRT. Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT mengklasifikasikan klaster pertama RUU PPRT dengan berbasis sosio kultural, dan klaster kedua berbasis kerja profesional.

Melalui RUU PPRT, DPR berharap akan terciptanya jaminan dari negara untuk para pekerja rumah tangga. Selain itu, RUU PPRT diharapkan dapat memberikan keadilan bagi para pekerja rumah tangga yang bekerja di sektor domestik.

DPR juga berharap RUU PPRT akan menjadi jembatan bagi PRT yang mengalami diskriminasi, kekerasan, dan perbudakan. Meski sudah ada Peraturan Menteri terkait perlindungan PRT, DPR menilai payung hukum tersebut tidak cukup kuat untuk memberi perlindungan kepada PRT.

Sementara itu Pemerintah telah mengantongi 367 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk RUU PPRT. Sejumlah substansi dalam DIM RUU PPRT yang akan dikirimkan Pemerintah ke DPR tersebut di antaranya terkait perjanjian kerja PRT dan perlindungan untuk mencegah kekerasan bagi PRT.