Bagikan:

JAKARTA - Kehadiran Covax Advance Market Commitment Engagement Group (COVAX-AMC EG) menjadi harapan untuk Indonesia dalam mengamankan ketersediaan vaksin. Seperti diketahui, perebutan vaksin oleh negara negara di seluruh dunia benar terjadi. 

Direktur Utama PT Bio Farma Persero Honesti Basyir mengatakan tanpa adanya lembaga COVAC-AMC sebagai aliansi vaksin global di bawah koordinasi World Health Organization (WHO), kemungkinan negara-negara berpendapatan menengah ke bawah tidak akan mendapatkan akses untuk mengamankan vaksin COVID-19 bagi warga negaranya.

Lebih lanjut, Honesti berujar, negara adidaya seperti Inggris bahkan telah memborong vaksin tiga kali lipat dari jumlah warga negaranya. Hal ini yang membuat ketersediaan vaksin di dunia terbatas.

"Tanpa ada COVAX/GAVI, negara-negara kaya cenderung akan memborong vaksin. Amerika Serikat dan Inggris saja sudah membeli dengan jumlah tiga kali lebih besar dari total populasi mereka. Kalau tidak ada COVAX/GAVI, kemungkinan negara low-middle income tidak akan mendapatkan vaksin," tuturnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Rabu, 20 Januari.

Kata Honesti, bukan hal yang mudah bagi Indonesia mendapatkan dosis vaksin sesuai kebutuhan. Perlu ada kerja sama antara negara dengan negara produsen vaksin agar kebutuhan vaksin dalam negeri terpenuhi.

Pemerintah, kata Honesti, sudah bergerak cepat dalam mengamankan ketersediaan vaksin dari COVAX/GAVI. Honesti mengatakan telah ada komitmen dari aliansi tersebut untuk memasok 54 juta dosis. Namun, masih terbuka opsi Indonesia bisa mendapatkan 54 juta dosis tambahan. Sehingga totalnya mencapai 108 juta dosis.

Menurut Honesti, jika Indonesia berhasil mendapatkan jatah vaksin gratis dari COVAX/GAVI sebanyak 108 juta dosis, ini sudah memenuhi kebutuhan vaksin bagi 20 persen penduduk Indonesia.

Secara keseluruhan, total penduduk Indonesia yang harus divaksinasi adalah 181 juta orang untuk bisa mencapai herd immunity hingga 70 persen. Dengan perhitungan per populasi mendapatkan dua kali suntikan, maka total vaksin yang diperlukan adalah 362 juta dosis.

"Namun, karena dalam pelaksanaannya diperhitungkan juga ada yang rusak, maka diberikan allowance 15 persen dari total vaksin sehingga secara keseluruhan Indonesia membutuhkan 426 juta dosis," jelasnya.

Adapun, terdapat dua mekanisme pengadaan vaksin yang dilakukan oleh Bio Farma atas penugasan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yakni mekanisme impor vaksin jadi dan impor bahan baku untuk selanjutnya diproduksi oleh Bio Farma.

Honesti mengungkapkan untuk pengadaan vaksin COVID-19, pemerintah sudah memesan dari Sinovac Biotech yakni 3 juta dosis vaksin jadi. Kemudian ada 142 juta dosis vaksin Sinovac dalam bentuk bahan baku yang akan dikirimkan secara bertahap.

Selanjutnya Indonesia sudah memiliki kontrak dengan Novavax untuk penyediaan 50 juta dosis vaksin dan ada opsi 80 juta dosis tambahan. Ini bergantung kemampuan dalam menyerap atau mengeksekusi perjanjian tersebut.

Indonesia juga mendapat komitmen vaksin dari aliansi vaksin global yang dukung World Health Organization (WHO) bernama COVAX/GAVI. Komitmennya 54 juta dosis vaksin namun bisa naik menjadi 108 juta dosis.

Pemerintah pun punya kerja sama dengan AstraZeneca untuk pengadaan 50 juta dosis vaksin dan bisa bertambah 50 juta dosis vaksin lainnya. Lalu ada dari Pfizer yang komitmennya 50 juta dosis vaksin. Selanjutnya dipasok dari Moderna dan G42 atau Sinopharm.

"Jika kita mendapat pasokan penuh (108 juta vaksin) dari COVAX/GAVI kemungkinan kita akan memiliki 663 juta dosis," tuturnya.