Bagikan:

JAKARTA - RUU Kesehatan Omnibus Law yang kini sedang digodog DPR RI berpotensi menimbulkan problematika hukum, jika RUU ini dipaksakan. Karena itu harus ditinjau sebelum disahkan.

Demikian simpulan yang bisa diambil dari acara yang digelar oleh Ikatan Apoteker Indonesia, pada Sabtu, 13 Mei yang mengelar Rumah Apoteker Indonesia (RAI) dengan narasumber Masbuhin, SH, MM, MH serta Dr Drs Apt Chazali Situmorang secara daring.

Acara ini merupakan upaya IAI untuk mensosialisasikan keputusan organisasi untuk meminta DPR RI dan pemerintah membahas RUU Kesehatan Omnibus Law yang dipandang menyimpan potensi masalah sangat besar.

Mengkritisi RUU Kesehatan

Acara dibuka oleh Sekretaris Jenderal PP IAI, apt Lilik Yusuf Indrajaya, SE, MM.

Masbuhin adalah advokat yang dikenal dengan sapaan Cak Buhin dan selama ini secara kritis mendalami isi RUU Kesehatan Omnibus Law. Ia adalah advokat dan Co Lawyer PABOI Jawa Timur dan Jaringan RS Muhammadiyah se-Jawa Timur.

Dalam paparan yang berjudul Ikatan Apoteker Indonesia (IAI): Single bar System is a Must, Cak Buhin menyampaikan bahwa UU Kesehatan yang disusun dengan metode omnibus law dan terdiri dari 20 bab dan 478 pasal dengan meng-Omnibus law kan 9 UU tersebut memunculkan problematika hukum.

Kedua problematika tersebut adalah proses lahir hingga pembahasannya, serta isi RUU Kesehatan itu sendiri.

Secara materi, cak Buhin melihat adanya inkonsistensi pasal, isu kriminalisasi, diskriminatif serta menghilangkan kewenangan pokok dan strategis organisasi profesi kesehatan.

Cak Buhin kemudian menunjuk sejumlah pasal yang mempreteli tugas, fungsi dan kewenangan Organisasi Profesi dalam menjaga etika profesi.

‘’Dalam pasal 274 disebutkan, Konsil setiap kelompok tenaga kesehatan mempunyai fungsi e. melakukan pembinaan di bidang teknis keprofesional. Bedakan dengan bunyi pasal 8 huruf (f) UU No 29/2004,’’ terang cak Buhin.

Dalam pasal itu disebutkan, melakukan pembinaan bersama OP terhadap tenaga kesehatan mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh OP.

‘’Disini dihilangkah kewenangan dan peran OP melakukan pembinaan anggota, pelaskanaan etika profesi dan penetapan etika profesi oleh OP,’’ tandas cak Buhin.

Dalam pasal 314 masih terdapat semangat OP adalah single bar, namun dalam DIM pemerintah no 1484 kolom 4 menyatakan, OP Kesehatan dihapus dan berubah dari single bar ke multi bar.

Dari sinilah OPK yang selama ini eksis akan memasuki sejarah baru dalam sebuah ketidakpastian hukum dan kewenangan yang dimiliki, lalu terkotak dalam kelompok dan paguyuban. Lalu ditundukkan dalam UU No 17 Tahun 2013 Tentant Ormas.

‘’Implikasi hukumnya, Organisasi Profesi Kesehatan, adanya seperti tidak adanya,’’ tegas cak Buhin.

Dalam kondisi ini, maka OP Kesehatan tidak lagi memiliki kewenangan untuk melindungi anggota. ‘’Bila terjadi masalah hukum, maka anggota tidak akan lagi punya tempat untuk mengadu,’’ tutur cak Buhin.

‘’Karena itu, IAI, single bar is a must. Adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar tawar lagi,’’ tegas Cak Buhin.

UU Dibuat Berdasarkan Kasus

Sementara itu apt Chazali Situmorang, Ketua Dewan Pengawas (Dewas) IAI menjelaskan jejak digital RUU Kesehatan Omnibus Law ini.

Menurut Chazali diawali tahun lalu, beredar di media sosial dan online, naskah akademik (NA) dan RUU Kesehatan dengan pendekatan Omnibus Law.

‘’Dalam dokumen tersebut, tertera huruf bayang ‘confidential’, tanpa menyebut sumbernya, tak ada tim penyusun,’’ terang Chazali Situmoran.

‘’Isi naskah akademiknya amburadul, tidak jelas landasan sosial, psikologis dan hukum lebih banyak mengangkat kasus-kasus problem implementasi yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan regulasi di bawah undang-undang,’’ tutur Chazali Situmorang.

Tidak ada yang mengaku, pemerintah atau DPR yang Menyusun draft bodong tersebut. Masyarakat kesehatan, organisasi profesi kesehatan menjadi heboh.

‘’Materi bodong itu menjadi bahan diskusi oleh OP dan lucunya Kemenkes mengundang OP untuk membahas dokumen bodong itu,’’ kata Chazali Situmorang.

Setelah berbulan-bulan kucing-kucingan, akhirnya Baleg DPR menyampaikan NA dan RUU Kesehatan inisiatif DPR (Baca Baleg), bukan Komisi IX yang membidangi kesehatan.

‘’Kenapa RUU Kesehatan Omnibus Law harus ditolak? Karena prosesnya tidak transparan, ada kongkalingkong pemerinah dengan DPR,’’ tegas Chazali Situmorang.

Chazali menyebut adalah invisible hand yang bermain, menyiapkan dokumen NA/RUU yang dipersiapkan pihak pemerintah, yang seharusnya pembasahan awal di Komisi IX DPR RI, namun justru tidak dilibatkan sejak awal.

Penyiapan dokumen NA/ RUU Kesehatan yang terburu-buru, tidak dalam substansinya, padahal banyak UU lain yang dihapuskan, merupakan alasan lain mengapa RUU Kesehatan Omnibus Law ini harus ditunda pembahasannya.