Bagikan:

JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencermati situasi dan kondisi terkini terkait RUU Kesehatan (Omnibus Law), sehingga meminta agar pembahasan RUU tersebut dihentikan. IDI memberikan alasan sebagai berikut:

  1. PB IDI telah melakukan upaya proaktif yang konsisten sejak munculnya draft RUU Kesehatan (Omnibus Law) tahun 2022 yang tidak jelas asal muasalnya, meski sudah tersusun sangat rapi dan sistematis hingga diterbitkannya secara resmi draft RUU Kesehatan (Omnibus Law) sebagai inisiatif DPR pada 14 Pebruari 2023.
  2. PB IDI mencermati segala isu, fitnah dan framing negatifyang ditujukan kepada IDI, profesi dokter dan profesi tenaga kesehatan Indonesia yang masih belum urgensi karena masih banyak permasalahan kesehatan yang belum tertangani oleh pemerintah.
  3. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah satu-satunya organisasi profesi dokter yang telah berperan strategis sejak awal Indonesia merdeka hingga saat ini dalam peningkatan derajat kesehatan bangsa terlebih dalam penanganan pandemi COVID-19, di mana sangat banyak dokter dan tenaga Kesehatan Indonesia wafat dalam upaya tersebut.
  4. PB IDI telah melakukan kajian secara seksama, mendalam dan komprehensif terhadap naskah RUU Kesehatan (Omnibus Law).

Menurut Ketum IDI, DR dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT  bahwa PB IDI sebagai satu-satunya Organisasi Profesi Dokter Indonesia yang terdiri dari 34 Wilayah, 458 Cabang, 41 Perhimpunan dan 55 Keseminatan menyatakan Nota Protes dan memohon agar pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) dihentikan dan atau tidak diteruskan. Apalagi sampai kepada Pengesahan dalam rapat Pembahasan di Tingkat (TK)-II.

Dua sektor yang harus selalu berada di tangan orang berbangsa Indonesia di negeri sendiri adalah kesehatan dan pendidikan. Kesehatan merupakan pengejawantahan dari kesejahteran umum sedang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Keduanya sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tantangan utama adalah kondisi masyarakat Indonesia yang masih belum keluar dari himpitan krisis, sehingga sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Masih diperlukan perbaikan fasilitas kesehatan terutama di wilayah terpencil, juga perbaikan sarana infrastruktur sehingga masyarakat bisa mengakses fasilitas kesehatan dengan mudah.

“Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa maka harus memiliki hak imunitas yang dilindungi oleh undang-undang. Di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesinya itu untuk memberikan sebuah perlindungan hukum namun peranan organisasi profesi dhilangkan. Apabila hak imunitas ini kemudian tidak didapatkan maka begitu akan banyak para tenaga medis tenaga kesehatan dengan mudah untuk masuk ke dalam permasalahan hukum. Dengan adanya hak imunitas tenaga kesehatan tersebut juga akan berdampak pada patient safety. Masyarakat akan terdampak pada pelayanan kesehatan berbiaya tinggi karena potensi resiko hukum dan hal ini paradoks dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang menerapkan efisiensi pembiayaan,” kata Adib Khumaidi.

“Kami sangat berharap penolakan yang saat ini sangat masif dilakukan oleh para dokter, tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran dan kesehatan, serta rakyat Indonesia terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini menjadi perhatian serius karena pasti akan berdampak kepada terganggunya stabilitas nasional, karena pelayanan publik dibidang kesehatan untuk masyarakat akan menjadi terdampak,” Adib Khumaidi menambahkan.