Ketika Tenaga Kesehatan Ribut Soal RUU Kesehatan Omnibus Law: Moral Jauh Lebih Berharga Ketimbang Uang
Sejumlah tenaga kesehatan berunjuk rasa menolak RUU Omnibuslaw Kesehatan di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 28 November 2022. (Antara/Sulthony Hasanuddin)

Bagikan:

JAKARTA - Menghilangkan peran organisasi profesi kesehatan demi memudahkan investasi justru dapat mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan bangsa. Dengan tidak adanya organisasi pengawas mutu dan kinerja, apakah nantinya hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik dapat terpenuhi?

Poin itulah yang membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) tegas menolak RUU Kesehatan Omnibus Law.

Partisipasi masyarakat atau kelompok sosial lainnya dalam perencanaan pembangunan kesehatan dianggap sebagai penghambat investasi. Sehingga, proses pengurusan dokumen wajib tenaga kesehatan seperti Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP), bila mengacu RUU Kesehatan, tak lagi membutuhkan rekomendasi organisasi profesi.

“Di mana pengawasan etik dan moral bagi dokter yang melayani masyarakat?” kata Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar IDI Dr. dr. Beni Satria dalam paparannya di YouTube PB IDI pada 29 November 2022.

STR merupakan bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Ini dokumen wajib untuk melakukan aktivitas pelayanan kesehatan. Mengacu aturan sebelumnya, STR diterbitkan oleh konsil masing-masing tenaga kesehatan dan hanya berlaku dalam jangka waktu 5 tahun.

Aksi menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di Gedung DPRD Kota Bima pada 28 November 2022 (Twitter/@QaillaAsyiqah)

Sementara dalam RUU Kesehatan, STR diterbitkan oleh konsil masing-masing kelompok tenaga kesehatan atas nama menteri setelah memenuhi persyaratan dan berlaku tanpa jangka waktu.

“Seorang dokter pernah praktek 20 tahun, lalu break selama 10 tahun, tanpa mengikuti perkembangan dan pendidikan kedokteran apapun, kemudian dia bisa berpraktek kembali hanya dengan melampirkan STR, apa jadinya? Lagipula, tidak ada satupun negara yang memberlakukan STR seumur hidup. Bahkan, Singapura saja lisensi hanya berlaku 1 tahun, Filipina 3 tahun,” papar Beni.

“Begitupun SIP. Aturan SIP dalam profesi dokter, dokter gigi, bidan, perawat mencantumkan rekomendasi dari organisasi profesi kemudian SIP diatur dengan Peraturan Menteri, tapi di RUU baru justru langsung oleh menteri. Padahal, menteri adalah jabatan politik,” Beni menambahkan.

Lalu terkait organisasi profesi dokter. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran hanya mengakui organisasi profesi IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Namun, di Pasal 185 RUU Kesehatan menyebut Menteri dapat menetapkan jenis tenaga kesehatan baru dalam setiap kelompok dan kelompok tenaga kesehatan baru.

Itu, menurut Beni, sangat rancu. Padahal, keberadaan IDI dan PDGI sudah dikuatkan lewat putusan MK nomor 88/PUU-XIII/2015, ‘Dengan hanya satu wadah organisasi profesi untuk satu jenis tenaga kesehatan akan lebih memudahkan pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap profesi tenaga kesehatan yang dimaksud’.

Tenaga Kesehatan Asing

Dr. dr. Beni Satria juga mempertanyakan mengapa RUU Kesehatan Omnibus Law memudahkan tenaga kesehatan asing membuka praktik di Indonesia. Padahal, dalam UU Praktek Dokter 36/2014 Pasal 53 ayat (2) menyebut, pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing dilakukan dengan mempertimbangkan: alih teknologi dan ilmu pengetahuan; ketersediaan tenaga kesehatan setempat.

Lalu, STR bagi tenaga kesehatan warga negara asing dalam UU Tenakes 36/2014 hanya berlaku selama 1 tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk satu tahun berikutnya.

Namun, RUU Kesehatan Omnibus Law Pasal 221 seolah mempermudah, tenaga kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi dengan ketentuan terdapat permintaan dari pengguna tenaga kesehatan warga negara asing.

Columbia Asia Hospital, salah satu rumah sakit di Indonesia yang dimiliki pemodal asing di bawah manajemen Columbia Pacific Management yang berpusat di Seattle, Amerika Serikat. (columbiaasia.com)

Kemudian dalam pasal 222, STR berlaku selama 3 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

 “Ini mengancam ketahanan bangsa. Mendatangkan tenaga kesehatan asing berpotensi mengancam keselamatan pasien,” kata Beni.

Investor dan biaya transaksi sosial dan lingkungan akan membuat para pihak mengadopsi solusi yang paling efisien dalam mengatasi risiko, yaitu apabila terjadi pencemaran maka akan diselesaikan antara perusahaan pencemar dan masyarakat korban pencemaran melalui solusi yang paling murah.

“Dengan demikian, RUU Kesehatan Omnibus Law secara nafasnya adalah untuk penyediaan kemudahan berinvestasi dengan mengorbankan sejumlah risiko yang bersifat jangka panjang,” imbuh Beni.

Bukan Draf Resmi

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI M Nurdin merasa heran mengapa organisasi profesi sudah meributkan RUU Kesehatan Omnibus Law. Padahal, pembahasan baru sebatas penyusunan naskah akademik dan belum menjadi RUU.

“Jadi prosesnya masih RDPU (rapat dengar pendapat umum) untuk menyusun Naskah Akademik. Dan belum ada draf RUU. Proses menuju draf masih lama,” ungkap Nurdin ketika menerima perwakilan organisasi kesehatan yang berunjuk rasa menolak RUU Kesehatan Omnibus Law pada 28 November lalu, dilansir dari laman resmi DPR RI.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris pun mengatakan draf yang beredar di masyarakat itu tidak resmi, bukan dari DPR.

“Kami tidak tahu draf RUU yang beredar di media sosial itu ulah siapa. Kami tidak pernah melihat dan yang jelas kami tidak mengakui draf yang beredar tersebut,” jelasnya di Ruang Fraksi PDI-Perjuangan DPR RI.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris menerima para perwakilan organisasi kesehatan yang berdemontrasi di depan Gedung DPR menolak Omnibus Law Bidang Kesehatan, di ruang Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Nusantara I, Senayan, Jakarta, pada 28 November 2022. (Foto: Eko/Man)

Kendati begitu, DPR RI selalu siap mendengarkan segala aspirasi dari para tenaga kesehatan dan organisasi kesehatan terkait penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan mereka.

“Pada prinsipnya kita selalu terbuka terhadap masukan dari semua stakeholder,” Charles menandaskan.