Bagikan:

JAKARTA - Desas-desus mengenai siapa yang akan menjabat Panglima TNI selanjutnya  menggantikan Jenderal Andhika Perkasa terjawab sudah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengusulkan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono sebagai calon tunggal Panglima TNI.

Direktur Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai, Presiden tentu sudah mempertimbangkan banyak hal terkait pilihannya tersebut. Terutama, mengenai rotasi matra yang seharusnya memang menjadi jatah Angkatan Laut.

Juga, mengenai situasi dan kondisi Indonesia tahun 2023. Sosok yang dipilih harus memiliki kredibilitas dan mampu bekerjasama mengatasi tantangan yang semakin berat, bahkan penuh gejolak.

Jokowi pernah menyebut tahun 2023 sebagai tahun yang gelap. Krisis ekonomi, pangan, dan energi sebagai dampak berkepanjangan dari pandemi COVID-19 dan situasi geopolitik membuat negara-negara dunia rentan mengalami resesi.

Bank Dunia memperkirakan jumlah negara yang akan mengalami kehancuran ekonomi akan terus bertambah pada 2023, dari awalnya hanya 9 negara, 25 negara, 42 negara, hingga menjadi 66 negara.

“Sekarang ini, 320 juta orang di dunia sudah berada pada posisi menderita kelaparan akut. Kondisi ekonomi dunia saat ini sudah pada tahap mengerikan. Tak mudah mengelola negara dalam situasi dunia yang penuh dengan ketidakpastian," kata Presiden Jokowi pada Agustus lalu.

KSAL Laksamana TNI Yudo Margono saat memberikan motivasi kepada siswa calon prajurit Marinir TNI AL yang sedang menjalani tahap Lintas Medan Latihan Praktek Pendidikan Komando (Lattek Dikko) saat melintas di lautan pasir, Gunung Bromo, Probolinggo. (Antara/HO-Dispen Marinir)

Belum lagi ketegangan Amerika Serikat-China di Laut China Selatan juga menjadi hal yang tak bisa dianggap sepele.

“Lalu, ancaman dari selatan. Australia punya kapal selam baru yang canggih, yang bisa sampai ke perairan Indonesia hanya dalam beberapa detik. Ini membahayakan juga dan harus bisa diantisipasi oleh Panglima TNI yang baru,” jelas Ridlwan saat dikonfirmasi VOI, Selasa (29/11).

Tak hanya soal ekonomi dan geopolitik, politik dalam negeri juga tak kalah bergejolak pada 2023. Merujuk data tahapan dan jadwal Pemilu 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU), setiap partai harus segera memutuskan dan mendaftarkan nama-nama yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024 selambat-lambatnya pada November 2023

Baik untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten, maupun nama calon presiden dan calon wakil presiden.

“Pada proses itu, gejolak lazimnya akan meningkat. TNI tidak boleh berpolitik praktis, tapi TNI juga punya kewajiban, untuk membantu pemerintah menjaga keamanan dan stabilitas sosial masyarakat,” kata Ridlwan.

Harapan masyarakat terhadap TNI sangat besar. Panglima TNI harus sigap mengatasi potensi-potensi permasalahan yang muncul. Sehingga, bisa membantu pemerintah dalam konteks menjalankan roda pemerintahan dengan damai dan tertib.

“Kita harus meyakini pilihan Presiden sebagai Panglima TNI adalah pilihan tepat. Namun, DPR juga harus lebih menajamkan kembali visi-misi Yudo dalam mengatasi berbagai gejolak itu. Bila nanti Yudo menjadi panglima, ini tentu akan menjadi fokus yang penting karena kita menghadapi situasi global yang sangat serius,” imbuh Ridlwan.

Menjaga Kedaulatan

Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Darmawan, MM pun tak menampik, permasalahan dunia cenderung melebar pada era saat ini. Di masa perang dingin, isu-isu geopolitik dan geostrategi terfokus pada masalah keamanan negara dan terbatas pada konflik antara Blok Barat dengan Blok Timur.

Namun, kini, isu melebar menjadi perebutan ruang dan sumber daya alam, yang melekat dengan persoalan ekonomi, demokrasi, eksistensi budaya, dan ancaman terorisme. Perebutan sumber daya alam juga bergeser dari arena kontinental ke arena laut.

Lihat konflik Laut China Selatan yang melibatkan negara-negara besar. Semua berebut pengaruh politik untuk menguasai lautan yang kabarnya memiliki cadangan minyak hingga lebih dari 213 miliar barrel. Juga, sumber daya hidrokarbon berupa gas alam dengan jumlah terbanyak.

“Kita punya pengalaman pahit ketika kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan. Bahkan, kini, muncul konflik baru terkait dengan batas wilayah laut yang diklaim China. Kita tidak boleh goyah dan lengah sedikitpun menghadapi perkembangan lingkungan strategis tersebut,” kata Darmawan dalam bukunya ‘Menyibak Gelombang Menuju Negara Maritim’.

Pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia memang sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis di persilangan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tentu menjadi titik krusial pengaruh globalisasi.

Ilustrasi-  Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis di persilangan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tentu menjadi titik krusial pengaruh globalisasi, 40 persen perdagangan di kawasan Asia Timur melewati perairan Indonesia. (Antara/Basri Marzuki)

Bagaimana tidak, 40 persen perdagangan di kawasan Asia Timur melewati perairan Indonesia.

“Dalam dinamika ini, laut memiliki arti sangat penting bagi masa depan Indonesia,” ucap Darmawan.

Namun, sayangnya, Indonesia sejauh ini belum bisa disebut sebagai negara maritim karena belum mampu menempatkan kuasa laut sebagai landasan utama struktur penguatan ekonomi dan politik.

“Kita belum optimal mengelola laut beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya.

Darmawan mengutip pernyataan Alfred Thayer Mahan, “Bangsa yang mengabaikan dan menelantarkan kuasa lautnya bisa berakhir dengan kehilangan kedaulatannya. Sebaliknya, bangsa yang kuat, makmur dan sejahtera adalah mereka yang secara cerdas membangun, memelihara dan memberdayakannya.”

Itu bukan kata-kata bersayap, tetapi fakta kontemporer. Kini, saatnya Indonesia merefleksikan kepemimpinan yang kuat dalam menjalankan upaya mewujudkan politiknya menuju negara maritim yang tangguh.

“Kita tidak akan maksimal membangun daya tangkal pertahanan dan keamanan maritim yang berdaya guna ketika kekuatan dan implementasi doktrin Angkatan Laut belum terlaksana secara memadai. Belum lagi persoalan cara pandang parsial dan ego sektoral para pemangku kepentingan,” ucap Darmawan.

“Kita perlu melakukan lompatan besar dengan melakukan revolusi mental, revolusi budaya, revolusi mindset, dan revolusi cara bertindak. Komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut harus dimulai dengan menjadikan poros maritim sebagai a sense of common purpose,” imbuh Darmawan.