Tergolong Mitigasi Bencana, Pembangunan Rumah Tahan Gempa Sudah Menjadi Keharusan di Indonesia
Gempa Cianjur pada 21 November 2022 mengakibatkan puluhan ribu bangunan rumah hancur. Tak terkecuali sekolah dan rumah sakit. (VOI/via BNPB)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia secara geografis berada di wilayah Lingkaran Api Pasifik. Tempat pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Lempeng-lempeng ini senantiasa bergerak ke berbagai arah yang berlainan dalam gerakan sangat perlahan yang tidak bisa dilihat mata. Bisa saling menjauh, saling bertumbukan, atau saling menggeser ke samping.

Para ilmuwan, seperti yang tertulis dalam buku ‘Merancang Rumah di Area Gempa menduga pergerakan lempeng terjadi karena perpindahan panas bumi melalui zat cair atau gas. Prinsipnya sama seperti air yang terus bergolak selama dipanasi,

Pergerakan lempeng itulah yang acapkali mengakibatkan gempa. Bobot massa lempeng samudera yang lebih besar akan menyusup ke bawah ketika bertumbukan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi). Gerakannya akan mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi yang lebih lanjut menyebabkan penumpukan energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya, terjadi tekanan, tarikan, dan geseran di zona-zona itu.

“Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba. Proses ini menumbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut sebagai gelombang gempa bumi,” tulis buku karya Esmeralda Contessa, Ph.D; Ir. Dudy Priyatna; Haris Munandar, M.A tersebut.

Kondisi rumah yang rusak akibat gempa di Desa Cibeureum, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022). (Antara/Yulius Satria Wijaya)

Lempeng Eurasia dan Indo-Australia saling bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera di bagian selatan pulau Jawa, lepas pantai Selatan kepulauan Nusa Tenggara, kemudian berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan, dekat dengan Papua.

Bahkan, antara lempeng Indo-Australia dan Pasifik juga terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi.

Artinya, gempa bumi, bahkan tsunami sekalipun sudah menjadi hal yang tak bisa dihindari. Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dr. Ir. Harkunti P. Rahayu dalam wawancara dengan VOI beberapa waktu lalu menyarankan masyarakat mau tak mau memang harus hidup berdamai dengan gempa.

“Ya, itulah yang terjadi. Ingat gempa itu tidak akan membunuh, yang membunuh itu adalah bangunan yang ada di atas permukaan tanah. Orang bisa tertimpa atau terhimpit bangunan, itu yang membuat mereka meninggal dunia,” kata Harkunti seperti yang sudah diberitakan VOI.

Itulah mengapa, satu cara yang pasti adalah dengan mewajibkan aturan rancangan keamanan bangunan tahan gempa, khususnya bangunan yang berada di garis atau sekitar garis patahan. Sehingga, bila terjadi gempa, jumlah korban bisa diminimalisasi.

Bangunan Tahan Gempa

Rumah lazimnya hanya dibangun dengan memperhatikan daya dukung terhadap kekuatan vertikal agar mampu menahan gaya gravitasi. Jarang sekali rumah diperhitungkan memiliki daya tahan terhadap kekuatan horisontal.

Sehingga, ketika terjadi gempa, bangunan mudah sekali roboh. Lihat dampak gempa Cianjur pada 21 November lalu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut 62.628 rumah rusak yang mencakup 27.434 rumah rusak berat, 13.070 rumah rusak sedang, 22.124 rumah rusak ringan. Gempa juga merusak 398 unit sekolah, 160 tempat ibadah, 14 fasilitas kesehatan dan 16 gedung kantor.

“Agar hal tersebut dapat dihindari, maka seluruh bagian struktur bangunan mulai dari fondasi, lantai, tiang, dinding, hingga atap harus menyatu dengan baik,” tulis Esmeralda Contessa, Ph.D dan rekan masih dalam buku ‘Merancang Rumah di Area Gempa’.

Untuk menentukan seberapa kuat rumah harus dirancang dan dibangun agar tahan terhadap gempa, ada beberapa hal yang harus diketahui terlebih dahulu. Pertama kondisi tanah, apakah tergolong lunak sehingga gempa akan memperbesar guncangan, atau tanah keras sehingga stabil dan risiko kerusakan akibat gempa diperkirakan lebih kecil.

Kondisi ruang kelas SMKN 1 Cugenang di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, rusak akibat gempa bermagnitudo 5,6. (Antara)

Kondisi tanah di lokasi yang kita pilih bisa diketahui dari peta yang dibuat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Ekologi,” kata Esmeralda.

Kedua, kondisi bangunan. Berdasar pengalaman ada beberapa kondisi rancang bangunan yang sebaiknya dihindari karena sangat rentan terhadap gempa, yakni:

  • Bentuk bangunan yang terlalu tinggi, terlalu melebar, atau terlalu panjang. Bangunan terlalu tinggi tanpa penguatan memadai takkan sanggup bertahan terhadap daya dorong horisontal gempa. Demikian pula dengan bangunan yang terlalu panjang dan terlalu lebar.

  • Bangunan yang paling kokoh terhadap gempa ternyata adalah yang memiliki bentuk geometris yang sederhana. Gedung yang memiliki banyak sudut sangat berbahaya di kala gempa.

    “Jika bangunan keseluruhan harus dipertahankan bentuknya, misal karena alasan bentuk tanah yang dimiliki, maka langkah pengamannnya dapat dilakukan antara lain dengan memisahkan bangunan menjadi beberapa unit yang masing-masing memiliki bentuk geometris sederhana. Seperti segi empat sama sisi atau segi empat dengan perbandingan panjang dan lebar yang tidak terlalu berbeda,” lanjut Esmeralda.

  • Bangunan dengan desain tertentu. Semisal gedung dengan ketinggian lantai berbeda, lebar lantai bervariasi, atau sebagian lantainya malah dijadikan atrium terbuka tanpa pilar. Memang menarik secara desain, tetapi berbahaya ketika gempa terjadi.

    Tidak ada fungsi penyaluran gaya inersia ke tanah secara cepat dan memadai sehingga jika gempa bumi terjadi, maka bangunan akan mengalami kerusakan parah dan tentu saja membahayakan orang-orang yang berada di dalam atau sekitarnya.

  • Harus ada jarak pemisah antarbangunan, terlebih jika bangunan berukuran tinggi. Bentuk geometris yang disarankan cenderung sederhana dan bersisi sama. Ini bertolak dari observasi adanya gaya puntiran terhadap gedung yang diakibatkan oleh guncangan gempa bumi.
Rumah tahan gempa milik pelukis Deden Fajar Gautama di Bantul, Yogyakarta yang merupakan wilayah rawan gempa bumi. (VOI/Istimewa)

Selanjutnya, rancangan dinding. Ada beberapa petunjuk untuk membuat dinding kuat dan mampu menahan gempa:

  • Sambungan antardinding harus dibuat saling mengunci. Untuk rumah, biasanya ada empat jenis ikatan yang dipasang horizontal guna memperkuat kesatuan struktur bangunan, yakni balok sloof di atas pondasi, balok ikat di atas kusen atau bukaan pintu dan jendela, balok ikat atap persis di atas dinding tembok, dan balok ikat kuda-kuda di atap.

    “Balok ikat di atas kusen jendela dan pintu mutlak harus ada untuk semua rancang bangun tahan gempa. Sedangkan balok kuda-kuda hanya diperlukan kalau atap bangunannya dibuat miring” kata Esmeralda.

     

  • Semakin lebar bidang dinding, maka akan semakin besar kekuatannya.

    “Jika menginginkan ventilasi yang baik, maka buat saja lubang-lubang untuk lalu lintas angin di bagian atas dinding. Lubang-lubang angin yang banyak namun kecil-kecil tidak akan banyak mengurangi kekuatan dinding dibandingkan dengan satu atau dua bukaan jendela atau pintu yang sangat lebar,” kata Esmeralda.

  • Perhatikan perbandingan antara tebal dan tinggi tembok. Semakin tinggi temboknya, maka tebalnya pun perlu ditambah. Dinding tembok yang terlalu tipis justru akan lebih rapuh dan lebih membahayakan penghuni rumah.

  • Kualitas dinding tembok juga sangat ditentukan oleh kualitas bahan bangunannya. Dari sekian banyak bahan, yang paling lazim digunakan adalah bata merah.

Hingga saat ini, belum ada teknologi yang memungkinkan prediksi gempa secara persis. Apa yang dapat dilakukan sekadar menaksir risiko berdasar catatan masa lalu, serta pengetahuan ilmiah yang sudah ada. Masyarakat Indonesia harus waspada.

“Tidaklah terlalu sulit membangun rumah yang cukup tahan terhadap gempa. Kini, tinggal kemauan kita untuk melaksanakannya, demi kepentingan dan keselamatan,” imbuh Esmeralda.

Harkunti menambahkan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebenarnya juga sudah memiliki rancangan bangunan tahan gempa. Namun, penerapannya memang belum menyasar ke tingkat bawah.

“Masyarakat harus memahami terlebih dahulu bahwa mereka tinggal di wilayah rawan gempa. Merancang bangunan tahan gempa tentu sudah menjadi keharusan,” ujar Harkunti menandaskan.