JAKARTA - Seorang jurnalis olahraga asal Amerika Serikat, Grant Wahl membagikan kisah yang dialaminya ketika akan memasuki Stadion Al Rayyan untuk meliput laga Piala Dunia 2022 Qatar di grup B antara Amerika Serikat vs Wales pada 22 November lalu. Wahl sempat diinterogasi terlebih dahulu karena kaos yang dikenakannya bermotif pelangi.
“Apa yang terjadi ketika petugas keamanan Piala Dunia Qatar menahan saya selama 25 menit karena mengenakan kaos yang mendukung hak-hak LGBTQ, dengan paksa mengambil ponsel saya dan dengan marah meminta saya melepas kaos saya untuk memasuki stadion. (Saya menolak.),” Wahl mencuit di akun twitternya.
Setelah perdebatan panjang, kata Wahl dalam tulisannya, seorang penjaga keamanan memberikan penjelasan bahwa apa yang dilakukan mereka hanya untuk melindungi Wahl dari penggemar lain yang tak suka dengan atribut kaos pelangi.
“Seorang perwakilan FIFA kemudian meminta maaf kepada saya juga,” ucap Wahl pada 22 November.
Qatar memang menerapkan aturan ketat terkait atribut bermotif pelangi yang identik dengan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Tidak boleh ada yang mengenakan atribut tersebut di dalam stadion, termasuk para official tim dan pemain.
FIFA pun mendukung dan akan memberikan sanksi tegas untuk mereka yang melanggar. Inilah yang membuat Kapten Timnas Inggris Harry Kane dan sejumlah kapten timnas negara lainnya, termasuk Kapten Belanda Virgil van Dijk mengurungkan niat mengenakan ban lengan pelangi bertuliskan OneLove di laga perdana.
“Kami tidak ingin kapten memulai pertandingan dengan kartu kuning. Itulah mengapa, dengan berat hati, kami sebagai kelompok kerja UEFA dan sebagai tim harus memutuskan meninggalkan rencana kami,” kata Asosiasi Sepakbola Belanda (KNVB) seperti dilansir dari Al Arabiya News.
KNVB sangat kecewa dengan sikap FIFA dan menganggap itu bertentangan dengan semangat sepak bola yang menyatukan semua orang.
Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) pun menganggap melarang penggunaan ban lengan pelangi sama dengan melarang hak mereka untuk berbicara. Para pemain Jerman memprotesnya lewat ekspresi menutup mulut ketika foto tim sebelum laga melawan Jepang.
Hormati Budaya
Qatar tidak ingin mengubah pandangannya soal LGBT hanya karena menjadi tuan rumah Piala Dunia. Semua orang boleh datang dan menyaksikan laga Piala Dunia di Qatar. Namun, jangan ada aktivitas dan kampanye mengenai perilaku LGBT.
Sebab, kebebasan orientasi seksual yang dianggap sebagai hak asasi manusia tersebut sangat berbeda dengan kultur budaya di Qatar sebagai negara muslim. Budaya Qatar menganggap LGBT merupakan perilaku tidak bermoral dan menyalahi undang-undang.
Masyarakat yang melanggar aturan tersebut diancam dengan sanksi tegas sesuai dengan hukum pidana yang berlaku di Qatar.
“Hukuman penjara satu hingga tiga tahun karena membujuk atau merayu laki-laki atau perempuan dengan cara apa pun untuk melakukan tindakan ilegal atau tidak bermoral. Hukuman juga bisa sampai tujuh tahun penjara dan bahkan hukuman mati dengan dilempari batu, selain denda yang besar,” sebut India Today.
CEO Piala Dunia 2022 Qatar Nasser al Khater meminta pengunjung menghormati budaya yang berlaku.
"Jika Anda ingin mengungkapkan pandangan Anda mengenai LGBT, lakukanlah dalam masyarakat yang bisa menerima hal itu. Jangan datang dan menghina seluruh masyarakat (kami). Kami tidak akan pindah agama hanya karena Piala Dunia selama 28 hari," ucap Kepala Keamanan Piala Dunia 2022, Abdullah Nasari dalam kesempatan berbeda seperti dikutip dari Sports Ration.
Novelis Suriah Wafa Alloush dalam editorial di situs berita berbahasa Arab di Turki mempertanyakan mengapa Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia terus menerus mendapat kritik dari media-media Barat.
"Sebagai orang Arab, kami berpikir bahwa jika turnamen ini diselenggarakan di negara non-Arab, tidak akan ada kegemparan yang sama," kata Alloush dilansir dari Deutsche Welle.
Ada banyak hal tentang Qatar yang pantas dikritik. Namun, bukan tentang budaya. Banyak kolumnis-kolumnis berbahasa Arab yang tidak sependapat bila ajang sepak bola dimanfaatkan oleh pihak Barat untuk ‘menginvasi’ budaya negara lain
“Ada jurang pemisah yang besar antara mengkritik suatu negara atas kesalahan tertentu dan menggunakan pernyataan dan stereotip budaya yang meremehkan yang memanfaatkan rasisme yang tertanam," kata Khaled al-Hroub, seorang profesor asal Qatar dalam tulisannya di Middle East Eye.
Akademisi Qatar Dr Nayef bin Nahar saat mengomentari cuitan Wahl pun menuliskan, “Sebagai seorang Qatar saya bangga dengan apa yang terjadi. Saya tidak tahu kapan orang Barat akan menyadari bahwa nilai-nilai mereka tidak universal. Ada budaya lain dengan nilai berbeda yang harus sama-sama dihormati. Jangan lupa bahwa Barat bukanlah juru bicara kemanusiaan.”
Saat ini pun, media-media Barat masih gencar ‘memaksa’ Qatar melunakkan aturannya terkait atribut pelangi di Piala Dunia.
Seperti pemberitaan media massa di Inggris baru-baru ini yang mengklaim FIFA telah melunak. Memperbolehkan penonton menggunakan atribut bernuansa pelangi di stadion. Qatar selaku tuan rumah juga memberikan jaminan dan tidak akan menyita barang suporter bernuansa pelangi ketika masuk stadion.
“Federasi Sepak Bola Wales pun menyebut, kebijakan dari FIFA itu akan diterapkan di semua stadion yang menggelar laga Piala Dunia 2022 Qatar,” tulis The Guardian.
Namun, hingga Sabtu (26/11), belum ada pernyataan resmi baik dari Qatar maupun FIFA mengenai hal tersebut. Apakah Khater dan Nasari rela mengubah pendapatnya hanya untuk penyelenggaraan Piala Dunia?
Stop Bahas LGBT
Polemik larangan penggunaan atribut pelangi di ajang Piala Dunia 2022 Qatar juga menjadi perbincangan hangat pegiat media sosial. Banyak yang menyayangkan mengapa ajang olahraga sekelas Piala Dunia menjadi ajang politik. Sudah sepantasnya tamu yang datang menghormati adat istiadat yang berlaku di negara yang dikunjunginya.
“Sumpah apa hubungannya sik piala dunia ama atribut begituan, gua part of lgbt tp kesel sendiri anjir, KENAPA HARUS BANGET BAWA2 GITUAN, tinggal hargai aja apa susahnya, kayak sehari gapake gituan bakal mati aja,” cuit Lio Nakama, Sabtu (26/11).
“Okelah lo pada dukung komunitas LGBT, tapi hargain tuan rumah. Qatar itu mostly agama Islam. Mereka kan di awal cuma nyuruh jgn pke atribut pelangi, ya udah. Bukan ngelarang pemain bola yg part of lgbt untuk gk main,” sambung @toushiroou.
“Piala dunia itu pertandingan sepak bola bukan ajang kampanye LGBT,” cuit pegiat media sosial lainnya.
Sebagai catatan, bendera pelangi dikreasi oleh Gilbert Baker pada 1978. Seniman asal Kansas, Amerika Serikat yang gay itu diminta oleh politikus yang juga ikon kaum gay, Harvey Milk untuk membuat sebuah bendera yang melambangkan komunitas LGBT. Bendera itu akhirnya diarak untuk kali pertama dalam parade tahunan Gay Freedom Day di San Francisco pada 25 Juni 1978.
Presiden Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) Noel Le Graet sejak awal sudah menegaskan tidak mau terlibat dalam polemik politik tersebut. FFF tetap tunduk terhadap peraturan FIFA selama berlaga dalam Piala Dunia 2022 Qatar.
Kapten Timnas Prancis Hugo Lloris memastikan, “Para pemain sudah merasakan tekanan dan hanya ingin fokus bermain dan menikmati pertandingan.”
Pelatih Belanda Louis van Gaal pun meminta kampanye LGBT tak lagi menjadi pembahasan dalam sepak bola.
"Kami ingin fokus pertandingan. Belanda harus menang. Urusan LGBT sudah dibahas sebelumnya, tak perlu lagi diperpanjang," katanya seperti dikutip dari Reuters.