JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) naskah Agustus 2022 terus menuai polemik. Aliansi Masyarakat Sipil Kawal RUU Sisdiknas RI meminta Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi atau lembaga terkait mencermati kembali.
RUU Sisdiknas yang terdiri dari 16 bab dan 150 pasal itu harus tetap mengedepankan tujuan pendidikan nasional yang telah digariskan di dalam UUD. Seperti yang tertera dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Namun, realitasnya atas nama industrialisasi dan globalisasi RUU ini telah mereduksi hakikat pendidikan hanya sebatas mesin pencetak tenaga kerja. Memberikan angin segar terjadinya komersialisasi pendidikan yang merupakan cerminan dari penetrasi kapitalisme dalam sistem pendidikan.
“Alhasil, tujuan pendidikan tereduksi hanya melayani kepentingan industri atas nama peningkatan sumber daya manusia,” kata Tri Noviana selaku koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Kawal RUU Sisdiknas RI, dalam keterangan resminya yang diterima VOI pada 22 November.
Meskipun tercecer secara parsial di dalam beberapa pasal, Aliansi mencatat komersialisasi menemukan titik kulminasinya pada Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 83 ayat (4).
Pasal 29 ayat (1) berbunyi, “Jenjang Pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 merupakan Pendidikan yang dirancang untuk memperdalam pemahaman atas ilmu pengetahuan yang lebih variatif dan spesifik serta mempersiapkan Pelajar untuk:
a. Melanjutkan ke Jenjang Pendidikan tinggi; dan/atau
b. Mengembangkan kompetensi yang relevan dengan dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja.”
“Hakikat pendidikan yang seharusnya membawa pembebasan bagi seorang manusia seolah kehilangan roh akibat direduksinya kompetensi yang hanya berfungsi menyuplai kebutuhan industri,” kata Tri.
Pemerintah dengan visi Merdeka Belajar hanya akan berhenti sebatas jargon jika pendidikan semata-mata diarahkan untuk mencetak tenaga kerja. Hukum dan standar yang dimiliki pasar, dunia usaha, dunia industri maupun dunia kerja adalah suatu hal yang amat berbeda dengan hukum dan standar esensial yang dimiliki pendidikan.
“Tak akan pernah dicapai kemerdekaan jika pendidikan hanya menjadi pabrik bagi kebutuhan pasar yang sifatnya amat fluktuatif dan tak pasti tersebut. Pendidikan sama sekali tak boleh didikte oleh kepentingan- kepentingan modal dan pasar,” ujar Tri melanjutkan.
Begitupun dalam Pasal 83 ayat (4), “Pengembangan dan penetapan Kurikulum serta capaian Pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat melibatkan Masyarakat dan/atau dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja”.
Kurikulum adalah satu aspek yang amat esensial dalam pendidikan. Melalui kurikulum, tenaga pendidik bekerja dalam menyelaraskan apa yang hendak dicapai pendidikan dengan semangat kemerdekaan dan bernegara yang tertuang dalam konstitusi.
Jika aspek yang amat penting ini dibuat dan dikembangkan oleh kepentingan industri, maka tujuan dari pendidikan itu telah berubah dengan sendirinya. Pendidikan tidak lagi menjadi ruang bagi tercapainya cita-cita bangsa, tetapi menjadi sebatas ruang bagi tercapainya cita-cita modal dan kepentingan pasar. Dalam hal ini negara pun telah lalai dan melepaskan tanggung jawab utamanya.
“Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, secara garis besar muatan-muatan naskah di atas memberi kita pemandangan bahwa para penyusunnya seakan tidak mengenal karakter dan budaya Indonesia sebagai sebuah bangsa. Maka dari itu, secara substansi dan paradigmanya mengandung cacat yang amat serius,” ungkap Tri.
Paradigma Kebangsaan
Di tengah arus deras globalisasi dan digitalisasi saat ini yang perlu dilakukan adalah memperkuat pondasi dan paradigma kebangsaan. Pemerintah hendaknya tidak gagap dan terburu-buru, dan tidak didikte oleh kepentingan-kepentingan luar yang atas nama efektivitas dan efisiensi.
Kepentingan ekonomi membutuhkan tenaga kerja secepat sefleksibel mungkin dan pembentukannya dibebankan kepada sektor pendidikan yang amat strategis tersebut.
“Jika pendidikan hanya dijadikan medium pencetak tenaga kerja, maka neokolonialisme yang sejak dulu digaungkan oleh Soekarno benar adanya,” imbuh Tri.
Prof. DR. HAR Tilaar dalam bukunya ‘Kaleidoskop Pendidikan Nasional’ mengakui pendidikan tidak luput dari kekuatan global yang melanda dunia dewasa ini. Ada yang memiliki makna besar di dalam kemanusiaan, tetapi tidak kurang pula yang memiliki akibat negatif terhadap perkembangan kebudayaan umat manusia. Inilah yang harus diwaspadai dari dampak arus globalisasi.
“Bila kita tidak menyadari efek-efek negatif dari gelombang globalisasi, kita akan menghadapi hancurnya kebudayaan Indonesia yang bhinneka atau pendidikan nasional yang tidak lagi diarahkan pada kebutuhan rakyat banyak dan penguatan identitas Indonesia, tetapi diarahkan pada persaingan global dengan wujud menginternasionalisasikan pendidikan nasional,” tulis Prof. Tilaar.
Buktinya sudah terlihat jelas, Sejak TK, anak-anak Indonesia telah dicekoki pembelajaran Bahasa Inggris dengan harapan nantinya anak lebih memiliki masa depan karena dapat lebih mudah berkompetisi di kancah internasional. Penguasaan Bahasa Inggris memang penting, tetapi yang teramat penting menanamkan terlebih dahulu nilai-nilai jati diri bangsa, berbahasa satu, Bahasa Indonesia.
Begitupun di tingkat pendidikan menengah hingga universitas dengan kecenderungan membuka kelas internasional.
Itu menggambarkan, sistem pendidikan mengarahkan peserta didik bertarung secara bebas dalam perjuangan menjadi bangsa yang terbaik. Padahal, budaya persaingan bukanlah paradigma pendidikan, melainkan paradigma ekonomi.
Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional pun tidak dikatakan pendidikan nasional dikembangkan di atas paradigma persaingan. Penekanannya lebih ke arah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bangsa yang cerdas tentunya bukanlah bangsa yang menjadi budak dari bangsa lain. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang mempunyai kemampuan intelektual yang dapat berdiri sama tegak dengan bangsa lain di arena internasional.
“Bangsa yang berdiri sendiri, yang mempunyai martabat sendiri, adalah bangsa yang merdeka,” imbuh Prof. Tilaar.