Bagikan:

JAKARTA - Pengusaha Mahendra Dito Sampurno alias Dito Mahendra kini menjadi buronan Bareskrim Polri. Sebab, namanya resmi masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

"Sudah terbit (status DPO Dito Mahendra, red)," ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro saat dikonfirmasi, Selasa, 9 Mei.

Tersangka kasus dugaan kepemilikan senjata api (senpi) ilegal ini resmi menjadi buronan berdasarkan Daftar Pencarian Orang Nomor DPO/8/5/Res.1.17/2023 Tipidum atas nama, Mahendra Dito Sampurna.

Dengan dasar penerbitan DPO itu, seluruh jajaran Polri di wilayah Indonesia akan mencari keberadaan Dito.

Namun, untuk saat ini belum ada titik terang mengenai keberadaannya. Tim dari Bareskrim Polri masih mencari petunjuk perihal tersebut.

"Ini sedang dicari anggota," kata Djuhandani.

Dito Mahendra dianggap tak beritikad baik untuk menghadapi kasus dugaan kepemilikan senpi ilegal. Sebab, ia tak pernah memenuhi pemeriksaan, baik di tahap penyelidikan maupun penyidikan.

"Saudara Dito sampai hari ini tidak punya etikad baik memenuhi undangan saat penyelidikan ataupun pemanggilan penyidik sebagai saksi 2 kali maupun pemanggilan tersangka," sebut Djuhandhani.

Dalam proses penyelidikan, Dito Mahendra dua kali tak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai saksi. Pun setelah berstatus sebagai tersangka.

Padahal, pada kesempatan sebelumnya, Bareskrim Polri telah mengultimatum bakak memasukan nama Dito Mahendra sebagai buronan apabila tak hadir di pemeriksaan hari ini.

Saat ini, Dito Mahendra berstatus tersangka kasus kepemilikan 9 senpi ilegal. Sebab, ditemukan surat resmi izin kepemilikan.

Senjata api yang dinyatakan ilegal antara lain, pistol jenis Glock 17, Revolver S&W, pistol Glock 19 Zev, dan pistol Angstatd Arms.

Lalu, senapan jenis Noveske Refleworks, AK 101, senapan Heckler & Koch G 36, pistol Heckler & Koch MP 5, dan senapan angin Walther.

Dalam kasus ini, Dito Mahendra terancam pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun. Dito dapat dijerat dengan Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951.