JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) enggan berkomentar banyak terkait anggapan lebih membela pelaku anak, Agnes (AG), dibandingkan korban David Ozora dalam kasus penganiayaan berat.
KPAI juga enggan merespons perihal komentar ayah korban agar komisi ini mengganti nama menjadi komisi perlindungan Agnes. KPAI hanya menyatakan, saat ini masih menyiapkan jawaban terkait David.
"Kami sedang menyiapkan jawaban terkait anak korban," ujar Wakil Ketua KPAI Jasra Putra saat dikonfirmasi VOI, Selasa, 18 April.
Sebelumnya, ayah korban David Ozora, Jonathan Latumahina berang dan memberikan sindiran menohok kepada KPAI lantaran terkesan membela pelaku anak, AG. Dalam akun Twitter @seeksixsuck, Jonathan menyarankan KPAI untuk berganti nama.
"Ganti aja namanya jadi Komisi Perlindungan Agnes," cuit Jonathan Latumahina.
Tanpa menyebut nama, Jonathan lantas menyebut agar tak terlalu percaya pada komisi ataupun lembaga-lembaga apapun.
"Jangan percaya-percaya amat sama komisi-komisan itu, yang selalu ada di samping kalian ketika mengalami masa sulit adalah keluarga dan sahabatmu. Komisi-komisi itu mentok di foto-foto doang sama bikin laporan buat atasan," tulisnya lagi.
KPAI sebelumnya meminta Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa Sri Wahyuni Batubara, hakim ketua pengadil Agnes Gracia dalam persidangan kasus penganiayaan David Ozora.
Dalam keterangan pers yang ditulis di website resminya, KPAI menyebut bahwa hakim Sri Wahyuni Batubara melanggar beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum.
"Meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim Sri Wahyudi Batubara (Hakim Anak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) secara etik terkait proses persidangan terhadap anak AG yang melanggar beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum," tulis keterangan pers KPAI, yang dikutip Selasa, 18 April.
KPAI juga menyampaikan keberatannya bahwa hakim membacakan secara rinci di persidangan mengenai aktivitas seksual anak AG dengan Mario Dandy.
BACA JUGA:
"Pertimbangan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka menyebutkan aktivitas seksual anak dengan Mario (terdakwa dewasa) cenderung rinci, bertentangan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim yakni berperilaku arif dan bijaksana. Di mana hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak," tulis KPAI.