Bagikan:

JAKARTA - Presiden Prancis Emmanuel Macron menimbulkan kegemparan dengan mengatakan, Eropa tidak tertarik untuk mempercepat konflik di Taiwan dan seharusnya menjadi "kutub ketiga" yang independen dari Washington dan Beijing.

Para aktor politik di negara tersebut mengkritik posisi Presiden Macron, karena terlalu akomodatif terhadap China, sama seperti latihan militer yang digelar Beijing di sekitar Taiwan.

Sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Prancis Les Echos dan Politico selama kunjungan tiga harinya ke China minggu lalu, Presiden Macron mengatakan "hal terburuk adalah berpikir kita sebagai orang Eropa harus menjadi pengikut dalam topik ini dan beradaptasi dengan ritme Amerika atau reaksi berlebihan dari China."

Anggota parlemen Jerman untuk Komite Luar Negeri Bundestag Norbert Roettgen, mengatakan dalam sebuah tweet, Presiden Macron telah "berhasil mengubah lawatannya ke China menjadi sebuah 'kudeta humas' bagi (Presiden) Xi dan bencana kebijakan luar negeri bagi Eropa." Dia menambahkan bahwa presiden Prancis itu "semakin mengisolasi dirinya sendiri di Eropa," melansir Reuters 11 April.

Sementara, dalam sebuah video yang diunggah di Twitter, senator AS Marco Rubio menyamakannya dengan konflik di Ukraina, di mana Presiden Macron berharap untuk meminta bantuan China.

Jika Eropa tidak "memihak antara AS dan China atas Taiwan, maka mungkin kita juga tidak boleh memihak (di Ukraina)," kata senator Partai Republik ini.

Terpisah, Pascal Confavreux, juru bicara Kedutaan Besar Prancis di Amerika Serikat mengatakan, komentar Presiden Macron telah ditafsirkan secara berlebihan.

"AS adalah sekutu kami yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan kami," cuitnya di Twitter.

Diketahui, China memandang Taiwan yang diperintah secara demokratis sebagai wilayahnya sendiri dan tidak pernah meninggalkan penggunaan kekuatan untuk membawa pulau itu di bawah kendalinya. Pemerintah Taiwan sangat keberatan dengan klaim China.