Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk tidak memulangkan 689 warganya yang bergabung dengan ISIS dan kini tinggal di tiga kamp yakni Al Roj, Al Hol, dan Ainisa. Kamp ini berada di bawah tiga otoritas kekuasaan, yakni SDF (Syrian democratic forces), pemerintah Syria, dan pemerintah dari Kurdistan.

Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD setelah rapat bersama pihak terkait lainnya di Istana Bogor.

"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, tidak akan memulang FTF (Foreign Terrorist Fighters) ke Indonesia," kata Menkopolhukam Mahfud MD kepada wartawan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa, 11 Februari.

Keputusan tidak dipulangkannya para warga Indonesia eks ISIS ini karena pemerintah ingin memberikan rasa aman terhadap ratusan juta penduduk Indonesia yang lain.

Sebab, jika mantan kombatan ini dipulangkan, maka bukan tak mungkin akan ada virus teroris baru di tengah masyarakat. "Kalau FTF ini pulang akan menjadi virus baru yang membuat rakyat yang 267 juta merasa tidak aman," tegas dia.

Meski WNI eks ISIS ini tak jadi dipulangkan, bukan artinya, Indonesia kemudian bebas dari ancaman tindak terorisme. Menurut peneliti terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, negara harus tetap waspada dengan gerakan-gerakan simpatisan terorisme. Apalagi, saat ini masih banyak jaringan atau sel yang berkaitan di Indonesia meski tidak dalam keadaan aktif.

"Polri dan intelejen harus waspada jika keputusan itu menimbulkan keinginan balas dendam, misalnya dengan melakukan penyerangan pada kantor pemerintahan karena mereka jengkel teman mereka tak dipulangkan," kata Ridlwan kepada VOI lewat pesan singkat, Rabu, 12 Februari.

Dia juga mengingatkan pemerintah untuk bersiap bila nantinya kamp yang dijadikan tempat tinggal bagi warga Indonesia eks ISIS ini kemudian dibubarkan oleh pemerintah Kurdi. Sebab, jika kamp ini benar dibubarkan bukan tak mungkin para mantan kombatan ini kembali melalui jalan pintas lainnya.

"Waspadai pintu-pintu masuk imigrasi kita. Terutama jalan tikus karena kalau bisa merembes masuk tanpa diketahui akan sangat berbahaya," tegasnya.

Ridlwan juga menyinggung keputusan pemerintah untuk tak memulangkan ratusan orang dari Timur Tengah ini, bisa saja nantinya membawa polemik dalam dunia politik dalam negeri.

Mengingat, beberapa waktu belakangan banyak pihak yang berharap pemerintah bisa memulangkan WNI eks ISIS tersebut. Salah satunya adalah Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera dan politikus Partai Gerindra Fadli Zon.

Selain polemik, menurutnya bukan tak mungkin ke depan ada keluarga eks kombatan ini yang kemudian melakukan gugatan class action atas tak dipulangkannya ratusan orang tersebut.

"Gugatan itu bisa saja muncul dari pihak keluarga di Indonesia. Alasannya, negara mengabaikan hak asasi negaranya di luar negeri," jelas Ridlwan.

Proses hukum diminta terus jalan

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik juga menyoroti tak dipulangkannya para warga Indonesia eks ISIS tersebut. Menurutnya meski ratusan orang itu tak dipulangkan, mereka tetap harus diproses secara hukum terkait perbuatan yang sudah dilakukan.

Apalagi, para mantan kombatan ini -bagi yang sudah dewasa- dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Pasal 12a tentang pemberantasan terorisme karena terlibat dalam jaringan ISIS atau kelompok teroris.

Selain itu, bagi yang pernah mengikuti pelatihan atau menjadi pelatih atau instruktur sebagaimana tercantum dalam pasal 12b juga diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

"Kalau tidak memulangkan, lantas langkah pemerintah selanjutnya apa, terutama terkait penegakan hukum. Kita belum jelas pemerintah akan melakukan langkah apa untuk penegakan hukum terhadap mereka-mereka ini. Yang anak-anak bagaimana? Juga kurang jelas," kata dia saat dihubungi wartawan lewat sambungan telepon, Selasa, 11 Februari.

Taufan juga menilai ada kekeliruan terhadap alasan pemerintah tak memulangkan ratusan warga Indonesia eks ISIS atas alasan keamanan. Menurut dia, ada kekeliruan dalam memahami penyelesaian persoalan tersebut dengan menggunakan kata pemulangan itu.

Sebab pemulangan yang disampaikan oleh pemerintah itu, terkesan dengan dipulangkan para mantan kombatan ISIS tersebut tak akan diberi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. "Jadi pemulangan bukan berarti lenggang kangkung begitu, tapi diproses secara hukum," tegasnya.

Walau menyoroti tidak dipulangkannya 689 warga Indonesia eks ISIS di Timur Tengah, dia kemudian memberikan apresiasi bagi pemerintah yang masih melakukan kajian pemulangan bagi anak-anak usia di bawah 10 tahun.

Diketahui, pemerintah membuka peluang bagi pemulangan anak-anak di bawah usia sepuluh tahun. Hanya saja tidak semuanya namun akan ditelisik dan diprioritaskan bagi mereka yang sudah tidak lagi mempunyai orang tua atau yatim piatu.

Menurut Taufan, wacana pemulangan anak-anak tersebut terdengar baik meski kini tengah dikaji oleh pemerintah. "Itu bagus," tutupnya.