Niat Pemerintah untuk Menerima Kepulangan Anak-Anak WNI Eks ISIS
Menko Polhukam Mahfud MD (Wardhany Tsa Tsia/VOi)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan hati untuk tidak memulangkan warga negara Indoensia eks ISIS. Meski begitu, pemerintah masih membuka peluang untuk menerima kepulangan anak-anak WNI yang sudah tak punya lagi orang tua atau yatim piatu dan kini tinggal di kamp-kamp di Timur Tengah.

Menurut Menteri Koordinator bidan Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD peluang itu terbuka mengingat saat ini tim yang dipimpin oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tengah melakukan pengidentifikasian terhadap anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.

Mahfud tak menjelaskan secara rinci bagaimana pemulangan anak-anak WNI eks ISIS tersebut. Menurutnya wacana ini masih tahap pertimbangan awal.

"Prinsipnya saja dululah bahwa anak-anak di bawah 10 tahun yang yatim piatu akan dipulangkan. Itu kebijakannya sudah resmi. Soal kapan dan dimananya, itu ada yang bersifat tertutup pengerjaannya dan kemudian ada yang memang belum boleh diumumkan kepada publik," kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 24 Februari.

Proses pendataan dan pengidentifikasian ini, menurut Mahfud dilakukan BNPT dan timnya dengan cara mengecek apakah benar ada anak WNI eks ISIS yang yatim piatu dan berada di kamp Al Roj, Al Hol, dan Ainisa. Diketahui, kamp ini berada di bawah tiga otoritas kekuasaan, yakni SDF (Syrian democratic forces), pemerintah Syria, dan pemerintah dari Kurdistan.

"Kita baru pada tahap inventarisasi, apa betul ada yang berusia di usia 10 tahun itu. Kalau ada, itu ada di camp yang mana atau di negara mana. Ini semua masih dalam proses identifikasi yang dilakukan oleh BNPT, dilakukan oleh tim gabungan," jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Sementara untuk WNI eks ISIS yang sudah berusia dewasa, Mahfud mengatakan pendataan juga akan dilakukan dan hasil yang diperoleh nantinya akan disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk kemudian dilakukan pemblokiran paspor.

"Mereka yang sudah teridentifikasi dengan nama, alamat dan sebagainya, sejak kapan bergabung dengan ISIS, itu sekarang sudah mulai disetor ke Kemenkumham untuk paspornya diblokir," ungkap dia sambil menambahkan dengan pemblokiran paspor tersebut, artinya WNI eks ISIS berusia dewasa tak akan bisa masuk ke Indonesia.

Sikap pemerintah yang masih mau memulangkan anak WNI eks ISIS yang berstatus yatim piatu ini diapresiasi dan dianggap penting untuk dilakukan. Pengamat terorisme Harits Abu Ulya, anak-anak berusia di bawah 10 tahun tersebut dianggap punya kesempatan dan hak untuk hidup lebih baik di masa mendatang. Sehingga, penjemputan ini perlu dilakukan dan negara harus hadir untuk menyelamatkan masa depan mereka.

Selain menjemput, menurut dia, pemerintah punya kewajiban untuk melakukan re-edukasi bagi anak-anak ini agar mereka punya pola pikir baru setelah mereka pulang dari kamp tersebut atau hidup di daerah konflik.

"BNPT atau institusi terkait bisa menampung mereka dalam satu tempat. Mereka perlu re-edukasi dengan substansi dan pendekatan yang terbaik dan tepat sesuai usia mereka," ungkap Harits ketika dihubungi VOI lewat pesan singkat, Selasa, 25 Februari.

Proses re-edukasi yang dimaksudnya adalah dimasukkan ke dalam satu lembaga pendidikan khusus dan dibuatkan kurikulum yang memgubah pandangan mereka, serta dibina oleh guru yang paham terhadap kondisi psikologis anak-anak tersebut.

Guru yang disediakan ini, menurut Harits, harus memberikan pencerahan terhadap paham ekstrim yang pernah mereka dapatkan dari keluarga yang terpapar pemahaman ISIS dan tentunya tak boleh terafiliasi dengan kelompok tersebut. Selain itu, faktor lingkungan juga harus diperhatikan saat proses re-edukasi terjadi.

"Lingkungan tempat mendidik mereka (anak-anak WNI eks ISIS) juga harus sangat kondusif, aman dari orang-orang yang berniat memberikan pengaruh negatif," ungkapnya.

Setelah proses re-edukasi ini selesai dijalankan, langkah selanjutnya adalah pemerintah tak langsung melepas mereka. Harus ada pendampingan dan monitoring bagi anak-anak ini setelah mereka siap kembali ke tengah masyarakat. "Inilah proses deradikalisasi dan re-integrasi ke NKRI," tutupnya.