JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan terorisme (BNPT) sedang memverifikasi identitas sekitar 600 warga negara Indonesia (WNI) bekas pengikut ISIS. Karenanya, sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang bisa dikonfirmasi.
Kepala BNPT Suhardi Alius mendapat informasi dari tim intelijen sejumlah negara Timur Tengah dan palang merah internasional ICRC, mayoritas jumlah bekas anggota organisasi teroris tersebut perempuan dan anak-anak.
"Dari kurang lebih 600-an yang mengaku WNI, kami mendapat infomasi bahwa mayoritas adalah perempuan dan anak-anak," kata Suhardi di Gedung BNPT, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat, 7 Februari.
Anak-anak yang berada di sana dianggap perlu mendapat perhatian khusus. Sebab, Indonesia memiliki Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Apalagi, hukum internasional menerangkan, anak-anak yang ikut serta dalam perekrutan di daerah konflik bisa dikategoran sebagai korban. Mereka dianggap belum cukup umur untuk mengambil keputusan menyangkut ideologi mereka.
"Ada kewajiban bagi negara-negara secara internasional, otoritas harus memberikan perlindungan kepada anak-anak ini. Inilah prinsip-prinsip hukum internasional yang ada kalau kita kaitkan dengan kasus-kasus di Suriah," jelas Suhardi.
BACA JUGA:
Meski demikian, ada kemungkinan anak-anak di sana telah diberi pemahaman dan pelatihan untuk ikut organisasi yang dianggap radikal tersebut. Bahkan, beberapa anak sudah dianggap terlatih dan masuk dalam pasukan (fighter).
Oleh karenanya, Suhardi mengaku perlu berkoodinasi lebih lanjut dengan tim intelijen internasional ntuk mengetahui seberapa jauh pergerakan anak-anak tersebut.
"Oleh sebab itu kita kerja sama betul. Tidak gampang loh ini, yang kita hadapi ideologi. Bayangkan susahnya, tingkat kesulitannya untuk mereduksi, menghilangkan traumatis itu," ungkap dia.
Opsi pemulangan WNI tersebut juga belum pasti dilakukan. Sebab, BNPT bersama Kemenkopolhukam sedang menyusun rancangan perencanaan yang berisi dua opsi terkait WNI eks ISIS ini, yaitu dipulangkan atau tidak, serta dampak dari dua opsi tersebut.
Diberitakan sebelumnya, otoritas pemerintahan seperti Kemenkopolhukam bersama Polri, BNPT, Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Agama, Kementerian Sosial melakukan kajian soal rencana pemulangan WNI eks kombatan di Timur Tengah.
Hanya saja beberapa pertimbangan masih menjadi perdebatan oleh instansi terkait, termasuk soal upaya pembinaan dan deradikalisasi terhadap WNI eks ISIS bukanlah perkara mudah mengingat mereka sudah terpapar dengan ideologi radikal.
Sedangkan pihak kepolisian hingga kini masih menggali informasi 600 orang warga negara Indonesia (WNI) yang direncanakan untuk dipulangkan ke Tanah Air usai runtuhnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) oleh Amerika.
Informasi sementara, mereka berada di tiga kamp, yakni Al Roj, Al Hol, dan Ainisa. Kamp tersebut berada di bawah 3 otoritas kekuasaan, yakni SDF (syrian democratic forces), pemerintah Syria, dan pemerintah dari Kurdistan.
Presiden Joko Widodo menolak ratusan warga negara Indonesia (WNI) eks Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dikabarkan ingin kembali ke Tanah Air. Apalagi, sempat viral di media sosial, mereka telah membakar paspornya.
Namun, kata Jokowi, untuk memutuskan rencana kepulangan eks anggota ISIS itu tentu harus dibahas dalam rapat terbatas bersama jajaran menteri di Kabinet Indonesia Maju.
"Kalau saya saja sih, ya saya akan bilang tidak. Tapi tentu saja, ini masih akan dibahas dalam rapat terbatas," kata Jokowi lewat Twitter yang dikutip pada Kamis, 6 Februari.
Soal WNI eks organisasi ISIS yang dikabarkan hendak kembali ke Tanah Air, para wartawan bertanya ke saya: bagaimana dengan mereka yang telah membakar paspornya.
Kalau saya saja sih, ya saya akan bilang: tidak. Tapi tentu saja, ini masih akan dibahas dalam rapat terbatas. pic.twitter.com/2To9HrNlQY
— Joko Widodo (@jokowi) February 6, 2020