JAKARTA - Rencana pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah menjadi anggota kelompok radikal ISIS terus menjadi pembicaraan di tengah masyarakat. Jika pemulangan akhirnya dilakukan, maka pemerintah harus mengatur kembali regulasi hingga penanganannya setelah tiba di tanah air, hal ini pula yang membuat pemerintah belum satu suara.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani meminta pemerintah untuk memastikan dengan cermat kepemilikan paspor Indonesia para WNI eks ISIS yang berada di Timur Tengah. Sebab, seperti diketahui belum lama ini beredar video yang memperlihatkan kelompok yang diduga ISIS membakar paspor mereka.
Puan mengatakan, pemerintah juga harus memastikan bahwa para WNI eks ISIS ini masih memiliki keinginan untuk kembali ke Tanah Air sebagai warga negara Indonesia.
"Yang pasti adalah kita harus cermati dulu. Apakah kemudian 600 orang Indonesia ini memang masih memiliki paspor? apakah mereka secara sukarela meninggalkan paspor Indonesia untuk kemudian pergi ke satu negara untuk kemudian menjadi ISIS? itu yang pertama yang harus kita lakukan dan cermati," katanya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 10 Februari.
BACA JUGA:
Selain memastikan kepemilikan paspor, Puan juga berharap pemerintah cermat dalam menseleksi para WNI eks ISIS yang memang masih mengakui sebagai WNI atau bukan. Sehingga, wacana memulangkan ratusan warga ke tanah air tidak bisa dilakukan secara terburu-buru.
"Jadi jangan terburu-buru, kita lihat dulu seperti apa situasinya dan kondisinya di sana. Apakah mereka itu masih mengakui sebagai warga negara Indonesia? Kalau dirinya saja sudah tidak mau menjadi warga negara Indonesia, tentu saja pemerintah harus memperhatikan langkah-langkah yang lebih cermat dan lebih antisipatif untuk bisa memulangkan mereka. Jadi jangan terburu-buru," tuturnya.
Pengamat Terorisme CIIA Harits Abu Ulya mengatakan, rencana pemulangan WNI eks ISIS pemerintah perlu mengkaji lebih dalam aturan dengan memadukan berbagai pendekatan, hukum, kemanusiaan dan keamanan.
"Pendekatan hukum jadi regulasinya seperti apa, pendekatan kemanusiaan hak-hak dasar setiap orang itu harus diperhatikan. Tidak boleh orang tanpa ada kewarganegaraan. Kemudian yang ketiga, adalah aspek keamanan. Harus diharmonisasikan supaya melahirkan keputusan yang adil, tegas, berkeprimanusiaan dan beradab," ucapnya, ketika dihubungi VOI.
Menurut Ulya, dari aspek keamanan, wajar jika ada kekhawatiran ketika orang pernah memiliki paham ekstrem kembali masuk ke Tanah Air. Namun, hal ini harus dikembalikan kepada pembuat kebijakan untuk menganalisa sejauh mana potensi ancamannya.
"Tidak boleh diserahkan liar pada publik. Ini masyakarat khawatir, masyarakat yang mana? Makanya kembali kepada yang punya kewenangan untuk membuat analisa objektif sejauh mana ancamannya," ucapnya.
Ulya menjelaskan, sejauh ini bukan kali pertama WNI eks ISIS kembali ke Tanah Air. Sebelumnya juga sudah banyak WNI yang kembali, bahkan setelah kembali mereka tidak melakukan tindakan yang membahayakan.
"Karena sebenarnya sudah banyak WNI itu yang dipulangkan, yang mereka ketangkap di Turki, udah banyak yang dipulangkan, satu dua saja mereka yang melakukan pelanggaran hukum. Tidak semuanya. Ini enggak ada masalah, hidupnya baik-baik saja," jelasnya.
Saat ini pemerintah juga memilki program deradikalisasi, menurut Ulya, WNI eks ISIS tidak semuanya terlibat dan menjadi kombatan dalam kelompok radikal tersebut. Tidak sedikit yang menjadi korban mereka adalah perempuan yang ikut dengan suaminya dan anak-anak.
Menurut dia, agar pemulangan WNI eks ISIS ini tidak menimbulkan gangguan keamanan, pemerintah dapat memasukan mereka ke dalam program deradikalisasi yang saat ini sudah berjalan di Indonesia. Tujuannya, agar terjadi perubahan mindset atau cara pandang, yang ekstrem kembali pada pola yang normal. Program ini, juga bisa meminimalisir potensi ancaman yang menjadi kekhawatiran. Namun, program ini juga harus dievaluasi jika pemulangan 600 WNI tersebut jadi dilakukan.
"Selama ini program itu jalan, orang-orang yang dideportasi simpatisan ISIS kan banyak yang hidupnya jadi baik-baik saja, normal. Intinya program deradikalisasi ini perlu dievaluasi secara komprehensif tentang efektivitas program. Karena ini menyangkut persoalan paradigmanya, konsep operasionalnya. Kemudian konten-konten atau narasi-narasi untuk bisa menggeser dari paham-paham yang ekstrem yang diduga teroris atau simpatisan kelompok teroris itu perlu dievaluasi," tuturnya.
Apalagi, kata Ulya, saat ini di dalam Undang-Undang Terorisme terbaru, yakni pasal 12A dan pasal 12 B UU 5 tahun 2018, sudah mengatur hukuman bagi tingkat keterlibatan seseorang dalam kasus terorisme.
Jika WNI eks ISIS yang terbukti sebagai kombatan dan perlu dianggap itu merupakan tindakan kriminal, kata Ulya, ketika mereka kembali ke Tanah Air pemerintah dapat memberikan hukuman sesuai UU yang berlaku.
"Jadi bicara tentang pendekatan hukum mungkin tindakan seperti itu bisa dikriminalisasi atau tidak? Kan begitu. Kalau itu dianggap kriminal ketika mereka pulang ya harus kasih punishment. Namun, perlu diklarifikasi, tidak semua yang terlibat menjadi kombatan," jelasnya.
Namun, Menurut Ulya, pemulangan WNI eks ISIS perlu dikaji lebih oleh pemerintah. Sebab, tisak boleh ada seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Apalagi, jika mengacu pada UU nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, pasal 23 poin d dikatakan WNI kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden".
"Mereka gabung sama ISIS itu kan bukan gabung sama negara. Ini kan jadi confude, berarti Indonesia mengakui kalau ISIS sebuah negara dong? Tidak ada. Jadi ini hanya kelompok," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi hingga kini masih menolak pemulangan WNI eks ISIS. Namun, Jokowi menyebut penolakan itu karena belum ada langkah lebih lanjut. Sehingga, terkait masalah ini pihaknya akan rapat terlebih dulu.
Jokowi menyebut, pemerintah masih memperhitungkan berbagai dampak jika dilakukan pemulangan WNI eks ISIS ke Indonesia. Baik dampak positif dan negatifnya, akan dibahas Jokowi melalui rapat terbatas.
"Ya kalau bertanya kepada saya (sekarang), ini belum ratas (rapat terbatas) ya. Kalau bertanya kepada saya (sekarang), saya akan bilang tidak (bisa kembali). Tapi, masih dirataskan," ujar Jokowi.