JAKARTA - Pemerintah mengkaji kemungkinan dipulangkannya warga Indonesia eks ISIS yang tersebar di wilayah Timur Tengah. Ada sekitar 660 warga Indonesia yang hingga kini masih menunggu nasib, apakah akan dipulangkan atau tidak.
Keputusan jadi dilakukan pemulangan atau tidak bakal diambil Presiden Joko Widodo pada Juni setelah mendengar berbagai masukan dari pihak otoritas.
Menanggapi hal tersebut, pengamat terorisme Universitas Indonesia Ridlwan Habib meminta pemerintah tak perlu menunda keputusan itu. Sebab, makin lama pemerintah menunda pemutusan hal tersebut maka akan mengganggu stabilitas sosial di tanah air.
"Karena ini bukan lagi persoalan pemerintah dan DPR ini sudah antar masyarakat lagi. Ini bisa mengulangi perdebatan Pilpres sebelum Pak Prabowo jadi Menhan, bisa, bisa ke sana arahnya," kata Ridlwan dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 9 Februari.
Dia menilai pemerintah harus cepat mengambil keputusan yang ada.
"Kita ini kan punya presiden, punya pemerintah, kenapa tidak ratasnya (rapat terbatas) minggu depan? Misalnya, hasilnya hari Rabu kemudian dikomunikasikan ke DPR, Komisi I hari Jumat. Apapun opsinya ... misalnya Presiden menolak, nanti bisa dibikin bagaimana menarasikan tolak itu secara ilmiah? Kan Komnas HAM juga sudah memberikan kisi-kisinya, kalau mau ilmiah seperti ini bisa," jelas dia.
BACA JUGA:
Pengamat ini jadi curiga, pemerintah enggan mengambil keputusan secara cepat karena tak mau mengambil risiko politik. "Karena keputusan apapun nantinya (yang diambil pemerintah) akan dihajar kanan kiri," tegas dia.
Apalagi dia menilai, sejak isu bergulir sudah banyak politisi yang kemudian membuat pemulangan WNI eks ISIS ini sebagai komoditas politik bagi mereka sendiri.
Ridlwan mencontohkan, ucapan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera yang secara tidak tepat menggunakan analogi, WNI di Wuhan saja diambil karena penyebaran virus corona mengapa WNI eks ISIS tidak dipulangkan. "Ini enggak apple to apple tapi saya lihat ada komoditas politik di situ," ujarnya.
"Jadi yang menjadi diskursus bukan lagi hak asasi manusia lagi tapi komoditas politik. Jangan lama-lama dan kenapa takut? Kan Pak Jokowi tidak akan maju lagi 2024," imbuh dia.
Bukan takut, tapi sulit
Di tempat yang sama, Tenaga Ahli Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin menanggapi pernyataan Ridwlan tersebut. Kata dia, wacana pemulangan warga Indonesia eks ISIS ini bukanlah sebuah hal yang gampang diputuskan. Wacana ini memang perlu dibahas secara komperhensif bersama otoritas lain agar tak menimbulkan kesalahan lain.
Tak ada hal yang maju, Ali juga menyinggung soal rancangan atau draf yang kini tengah dibuat oleh pemerintah. Soal draft ini sebelumnya sudah disinggung oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Kemenkopolhukam beserta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, Badan Intelejen Negara (BIN), Kementerian Agama, dan Kementerian Sosial sedang melakukan kajian terhadap rencana pemulangan tersebut.
Hasilnya, sudah ada dua draf atau rancangan yang isinya menimbang dipulangkannya atau tidak para WNI yang jadi kombatan teroris tersebut. Namun, rancangan ini masih akan didiskusikan lebih lanjut bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebelum akhirnya diserahkan kepada Presiden Jokowi.
"Ini penting untuk dibahas secara komperhensif. Karena terkait dengan eks ISIS tidak gampang lho," ungkap Ali sambil menambahkan perlu waktu untuk membahas rancangan tersebut.
Ali juga menegaskan selama ini tidak ada keraguan dalam diri Presiden Jokowi dalam menentukan pemulangan tersebut dilakukan atau tidak. Hanya saja, menurut Ali, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak mau semuanya berjalan dengan gegabah dan harus sesuai dengan regulasi yang ada.
"Presiden sama sekali tidak ragu tetapi untuk kepentingan demokrasi, kepentingan regulasi, dan kepentingan sebuah bangsa yang besar ini harus diurus dengan baik, dibuat dan dibahas," ungkapnya.
Tak hanya soal regulasi, Ali juga mengatakan, lamanya pemerintah dalam melakukan pengambilan keputusan juga karena saat ini pemerintah tengah melaksanakan profiling atau mengecek rekam jejak dari 660 WNI eks ISIS yang tersebar di beberapa kamp.
Hanya saja, Ali mengingatkan siapapun yang sudah memilih jalan jihad dengan bergabung bersama ISIS jangan kemudian membebani pemerintah Indonesia dengan memohon pemulangan.
"Kau sudah menyebut negara ini negara thogut dan negara kafir, ya, merobek dan membakar paspor ya kau makan itu paspor," tutupnya.