JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap atensi masyarakat terhadap gaya hidup pejabat harusnya jadi momentum mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Apalagi, beleid itu sudah terlalu lama dibahas dan tak membuahkan hasil.
"Saya kira ini momen yang tepat (mengesahkan RUU Perampasan Aset, red) ketika ada beberapa laporan masyarakat, atensi masyarakat terkait gaya hidup penyelenggara negara," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis, 30 Maret.
Ali mengatakan pengesahan beleid tersebut harus dilakukan segera karena komisi antirasuah sedang menangani dugaan gratifikasi eks Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo. Sehingga, ke depan, KPK bisa bergerak melakukan penegakan hukum.
"Karena pada gilirannya setiap perkara korupsi pasti pada ujungnya ada perampasan aset. Sampai saat ini, kami berupaya untuk perampasan aset itu dilakukan dengan putusan pengadilan, melalui persidangan," tegasnya.
"Sehingga ini kan mendukung secara norma hukum utk penegak hukum hukum bisa mengoptimalkan aset recovery dari hasil korupsi," sambung Ali.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD minta DPR mendukung upaya pemerintah memberantas tindak pidana pencucian uang (TPPU). Caranya, dengan segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.
"Saya ingin mengusulkan begini, sulit memberantas korupsi. Tolong melalui Pak Bambang Pacul, Undang Undang Perampasan Aset tolong didukung sehingga kami bisa ngambil [hak tagih aset] begini-begini, Pak. Tolong Pembatasan Uang Kartal juga didukung," ujar Mahfud saat rapat dengan Komisi III DPR di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 29 Maret.
Mahfud mengatakan, dengan membahas dua RUU itu maka upaya penindakan terhadap praktik TPPU menjadi luwes. Kewenangan merampas aset pelaku tindak pidana ekonomi juga lebih luas.