Bagikan:

JAKARTA - Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol pada Hari Jumat memperingatkan pemerintahannya akan membuat Korea Utara "membayar mahal provokasi sembrono yang dilakukannya", bersumpah untuk memperkuat kemampuan militer negaranya dalam menanggapi ancaman nuklir Pyongyang yang terus berkembang.

Itu disampaikan Presiden Yoon beberapa jam setelah Pyongyang meluncurkan apa yang disebutnya sebagai pesawat tak berawak penyerang nuklir bawah air, menyiratkan bahwa Seoul akan tetap berpegang teguh pada sikapnya terhadap Pyongyang.

"Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklirnya sambil terus melakukan provokasi rudal pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata presiden dalam pidatonya pada upacara yang menandai Hari Pertahanan Laut Barat kedelapan di Pemakaman Nasional Daejeon, melansir Korea Times 24 Maret.

"Pemerintah dan militer kami akan secara drastis memperkuat sistem tiga sumbu gaya Korea Selatan dan memperkuat kerja sama keamanan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta antara Korea Selatan-Amerika Serikat-Jepang, dalam menanggapi ancaman nuklir Korea Utara yang terus berkembang," ujarnya, seraya menekankan bahwa ia akan membuat Pyongyang membayar harga atas provokasi sembrono yang dilakukannya.

Sistem pertahanan tiga sumbu itu mengacu pada Korea Massive Punishment and Retaliation (KMPR), sebuah rencana operasional untuk melumpuhkan kepemimpinan Korea Utara dalam konflik besar, platform serangan pre-emptive Kill Chain dan sistem Pertahanan Udara dan Rudal Korea (KAMD).

drone nuklir korut
Uji coba drone bawah air berkemampuan nuklir Korea Utara. (Sumber: KCNA)

Pendekatan garis keras Presiden Yoon terhadap Korea Utara yang disoroti dalam pidatonya, sangat kontras dengan pendahulunya Moon Jae-in, yang mengupayakan pemulihan hubungan antar-Korea melalui dialog. Selama masa jabatannya, Moon tidak menghadiri tiga dari lima upacara Hari Pertahanan Laut Barat.

Sebagai bagian dari langkah pemerintah petahana untuk meningkatkan kemampuan militer, pasukan Korea Selatan dan A.S. baru-baru ini mengadakan latihan gabungan besar-besaran yang disebut Perisai Kebebasan dalam skala yang belum pernah terjadi sejak tahun 2017. Latihan ini berlangsung selama 11 hari berturut-turut dari tanggal 13 Maret hingga Kamis.

Pada hari terakhir latihan, militer mengadakan latihan tembak-menembak di Pocheon di Provinsi Gyeonggi utara, sekitar 30 kilometer di selatan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua Korea.

Korea Utara, yang memandang latihan yang ditingkatkan sebagai "latihan untuk invasi", telah melakukan protes melalui serangkaian uji coba senjata.

Korean Central News Agency (KCNA), kantor berita resmi Korut pada Hari Jumat melaporkan Pyongyang telah menguji coba sebuah drone serang bawah air yang mampu membawa hulu ledak nuklir.

Menurut laporan tersebut, drone itu diluncurkan di lepas pantai Riwon, Provinsi Hamgyong Selatan pada Hari Selasa dan berlayar di perairan selama lebih dari 59 jam, sebelum hulu ledak uji coba diledakkan pada Hari Kamis sore.

Korea Utara mengklaim bahwa senjata nuklir yang baru saja diluncurkan, diberi nama "Haeil", mampu menyebabkan "tsunami radioaktif" di pantai-pantai musuh. Dijelaskan bahwa militer telah mengembangkan senjata tersebut sejak tahun 2012 dan telah menjalani sekitar 50 kali uji coba dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, analis pertahanan mengatakan, senjata terbaru itu bisa jadi merupakan upaya untuk meniru torpedo Poseidon bersenjata nuklir milik Rusia, meskipun klaim Korut tentang kemampuan senjatanya bisa jadi dibesar-besarkan.