Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah warga Kampung Bayam menduduki area pelataran Kampung Susun Bayam (KSB) sejak Senin, 13 Maret sampai saat ini. Saat memasuki KSB, warga terdampak gusuran Jakarta International Stadium (JIS) ini menggelar tikar dan bermalam di KSB selama beberapa hari.

Hal ini disayangkan oleh PT Jakarta Propertindo. Vice President Corporate Secretary PT Jakpro Syachrial Syarif menyebut warga menerobos masuk KSB tanpa perizinan Jakpro selaku pengelola gedung.

"Itu kita sayangkan, ya. Karena warga saat masuk ke area, mereka bilang (ke penjaga) sudah ada janji sama Jakpro. Padahal, kita tidak ada janji untuk menerima mereka di dalam area rusun. Mereka masuk saja," kata Syachrial kepada wartawan, Kamis, 16 Maret.

Namun, Syachrial mengaku pihaknya memaklumi sikap warga yang menduduki area KSB. Mengingat, warga Kampung Bayam sampai saat ini belum juga dipersilakan menghuni KSB yang bangunannya telah diresmikan sejak Oktober 2022 oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sehingga, Jakpro tidak mengusir mereka.

"Kita tidak mengusir teman-teman yang sudah masuk. Ya, kita berharap itu tetap steril karna itu kan masih belum ada penetapan siapa pengelolanya gitu ya. Jakpro sebenarnya ingin teman-teman segera bisa masuk," ungkap Syachrial.

Lalu, kenapa warga sampai saat ini belum juga bisa menempati KSB? Syachrial menjelaskan, meskipun dibangun oleh Jakpro, Kampung Susun Bayam berdiri di atas lahan atau aset milik Dinas Pemuda dam Olahraga (Dispora) DKI Jakarta.

Karenanya, Jakpro masih berkutat pada proses administrasi yang bisa melegalisasi operasional bangunan KSB yang terletak di samping JIS tersebut.

"Kita perlu kekuatan hukum, perlu legalitas. KSB merupakan bangunan di atas lahan Pemprov. Kalau kita mau sewakan perangkat, bangunan di atas itu tentunya perlu mendapatkan kejelasan hukum, kejelasan legalitas. Jangan sampai di belakang hari, karena maladministrasi kita malah berhadapan dengan hukum," tutur dia.

Sementara, terkait harga sewa yang juga masih menjadi polemik, Jakpro kukuh mematok tarif sekitar Rp600 ribu hingga Rp700 ribu per bulan. Berbeda dengan tuntutan warga Kampung Bayam yang hanya menginginkan Rp150 ribu per bulan.