Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Bupati Mamberamo Tengah nonaktif Ricky Ham Pagawak belum bisa diperiksa penyidik meski dia sudah ditahan di rumah tahanan (rutan). Penyebabnya, kuasa hukum yang mendampingi dirinya selalu absen.

"Dua kali agenda pemeriksaan RHP sebagai tersangka belum dapat dilakukan karena tidak hadirnya tim penasihat hukum yang bersangkutan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat, 10 Maret.

Ali menegaskan agenda pemeriksaan sudah diberikan kepada Ricky dengan harapan dia bisa mengabari tim kuasa hukumnya. Tapi, mereka tidak pernah hadir begitu juga perwakilannya.

KPK meminta pihak yang membela Ricky bisa hadir saat dia diperiksa sebagai tersangka. "Karena ini adalah hak hukum tersangka dan KPK menghormati hal tersebut sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan hukum," tegasnya.

Lebih lanjut, KPK kini memperpanjang masa penahanan Ricky selama 40 hari hingga 20 April. Perpanjangan penahanan karena KPK masih berupaya mencari bukti yang memperkuat praktik suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diduga dilakukannya.

"Penyidik masih terus dilakukan dengan menjadwalkan pemeriksaan saksi-saksi termasuk menggeledah lokasi-lokasi yang diduga dapat menerangkan dugaan perbuatan dari tersangka dimaksud," jelas Ali.

Diberitakan sebelumnya, Ricky resmi menjadi tahanan Rutan KPK Cabang Merah Putih sejak Senin, 20 Februari. Ia merupakan tersangka dugaan suap, gratifikasi, dan dugaan pidana pencucian uang.

Dalam kasus ini, Ricky diduga menerima uang suap dan gratifikasi hingga Rp200 miliar. Penerimaan ini dilakukan dari kontraktor yang ingin mendapat proyek di Kabupaten Mamberamo Tengah.

Ada tiga kontraktor yang disebut memberikan uang yaitu Direktur PT Solata Sukses Membangun, Marten Toding; Direktur Utama PT Bina Karya Raya, Simon Mampang; dan Direktur PT Bumi Abadi Perkasa Jusiendra Pribadi Pampang.

Rinciannya, Jusiendra mendapat 18 paket pekerjaan dengan total nilai mencapai Rp217,7 miliar. Proyek yang dibangun di antaranya pembangunan asrama mahasiswa di Jayapura.

Sementara Simon mendapat enam paket senilai Rp179,4 miliar dan Marten mendapat tiga paket pekerjaan dengan nilai Rp9,4 miliar. Pekerjaan ini didapat tiga swasta itu setelah mereka bersepakat dengan Ricky memberikan uang.

Dari uang yang didapat itu, Ricky kemudian diduga melakukan pencucian uang dengan cara membelanjakan hingga menyamarkan hasil suap dan gratifikasi yang diterimanya.