PBB Sebut Afghanistan Negara Paling Represif Terhadap Perempuan dan Anak di Dunia
Ilustrasi wanita Afghanistan. (Wikimedia Commons/The White House Eric Draper)

Bagikan:

JAKARTA - Misi PBB di Afghanistan menyebut negara itu sebagai yang paling represif di dunia terhadap perempuan dan anak perempuan, mengkritik pembatasan kejam Taliban.

Taliban, yang kembali menguasai negara itu pada Agustus 2021, "telah menunjukkan fokus yang hampir tunggal dalam memberlakukan aturan, yang membuat sebagian besar perempuan dan anak perempuan terperangkap secara efektif di rumah mereka," kata kepala misi Roza Otunbayeva, melansir The National News 8 Maret.

Mengurung perempuan di rumah mereka bukan hanya "tindakan kolosal yang merugikan diri sendiri secara nasional", tetapi mengutuk generasi yang akan hidup dalam kemiskinan, katanya.

Pernyataan tersebut, dirilis menjelang Hari Perempuan Internasional, datang beberapa hari setelah universitas melanjutkan kuliah setelah liburan musim dingin, tetapi tanpa mahasiswi.

Kekhawatiran besar akan hak-hak perempuan dikonfirmasi setelah kelompok itu mengambil alih Afghanistan, 20 tahun setelah terakhir berkuasa.

Terlepas dari klaim lemah mereka akan melindungi hak-hak perempuan, Taliban melarang perempuan masuk universitas pada Bulan Desember dan melarang mereka bekerja untuk kelompok bantuan sebulan kemudian.

Wanita juga tidak diperbolehkan di sebagian besar ruang publik, termasuk taman, pusat kebugaran dan kolam renang.

Sementara, akses ke sekolah tingkat rendah berbeda-beda di setiap wilayah, sebagian besar anak perempuan di kelas enam atau lebih dilarang untuk melanjutkan pendidikan. Sementara sekolah yang tetap buka telah menjadi sasaran serangan yang mengerikan.

Tahun lalu, Lebih dari 50 siswa, kebanyakan perempuan, tewas dalam serangan bom bunuh diri di sebuah sekolah di Kabul pada Oktober, salah satu dari beberapa serangan mematikan dalam beberapa tahun terakhir.

PBB mengatakan, Taliban konstan melakukan pembatasan kebebasan perempuan sejak mereka kembali berkuasa, sering memukuli perempuan dan anak perempuan yang telah turun ke jalan selama berbulan-bulan untuk memprotes keputusan tersebut.

Pernyataan itu menggemakan pernyataan yang dibuat oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Hari Selasa.

"Kami tidak akan pernah menyerah memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dan mengecam penghapusan mereka dari kehidupan publik," ujar Guterres.

Siswa laki-laki juga memprotes pembatasan pendidikan perempuan, dengan beberapa kelas memboikot, sementara beberapa profesor telah mengundurkan diri dari jabatannya.

"Jika kita ingin menjadi negara yang beradab, (gerbang universitas) harus dibuka kembali untuk semua warga negara kita tanpa perbedaan gender, agama, dan geografis," sebut dosen universitas Murtaza Hossieni kepada berita Tolo.

Nasir, seorang siswa yang tidak menyebutkan nama belakangnya, mengatakan "kami senang universitas telah dibuka kembali, tetapi kami kecewa karena saudara perempuan kami belum dapat berpartisipasi."

Di Balkh, mahasiswa sastra menolak untuk menghadiri kuliah sampai teman perempuan mereka juga diizinkan untuk melakukannya, lapor surat kabar Hasht e Subh.