Bagikan:

SUBANG - Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jawa Barat menyampaikan klarifikasi soal seorang ibu hamil bernama Kurnaesih (39) yang meninggal dunia karena kesulitan mengakses layanan gawat darurat.

"Ada miskomunikasi, sehingga masalah itu terjadi. Mungkin penyampaian informasi dari petugas RSUD belum utuh, dan disalahtafsirkan oleh keluarga. Kalau ada berita dia (pasien) ditolak karena tidak ada rujukan puskesmas, itu saya klarifikasi tidak seperti itu," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang dr. Maxi dilansir ANTARA, Rabu 8 Maret.

Maxi menjelaskan Kurnaesih pada 16 Februari 2023 mengeluh mulas dan meminta pertolongan seorang bidan desa agar bisa mendapat perawatan di puskesmas terdekat.

Namun, dia melanjutkan, sekitar satu jam setelah mengeluh mulas pasien muntah, pingsan, dan mengeluarkan air ketuban sehingga bidan desa yang menilai Kurnaesih berpotensi mengalami persalinan tidak normal berinisiatif menelepon puskesmas agar mengirim ambulans.

"Dalam waktu singkat, ambulans datang dan pasien dirujuk ke Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Dalam perjalanan, pasien muntah dan pingsan lagi, sehingga sampai di puskesmas, sekitar lima menit dilakukan pertolongan dengan infus dan kateter serta usaha pertolongan awal," katanya.

Karena penanganan kondisi sebagaimana yang dialami oleh Kurnaesih berada di luar kewenangan petugas puskesmas, ia mengatakan, puskesmas kemudian merujuk pasien ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ciereng Subang supaya bisa mendapat layanan gawat darurat yang dibutuhkan.

Dalam mekanisme rujukan terpadu, Maxi menjelaskan, puskesmas diwajibkan terlebih dulu memberitahu RSUD supaya memperoleh kepastian layanan berdasarkan kesiapan alat, ruangan, hingga tenaga kesehatan.

"Itu sudah ada Permenkes-nya tentang rujukan, sehingga kalau tidak siap, dirujuk lagi ke rumah sakit lain," katanya.

Setelah puskesmas menyampaikan pemberitahuan ke RSUD, Maxi mengatakan, bidan bersama keluarga Kurnaesih bergegas menuju ke RSUD Ciereng sambil menunggu jawaban dari RSUD.

"Jawaban disampaikan setengah jam kemudian, saat posisi pasien tinggal lima menit lagi sampai RSUD. Jawabannya, menurut dokter ahli kandungan harus dilakukan pertolongan dengan sarana ICU, karena perlu operasi terhadap kondisinya yang tidak baik-baik saja," katanya.

Setelah menerima jawaban itu, bidan yang mendampingi Kurnaesih berinisiatif menghubungi rumah sakit terdekat yang memiliki unit perawatan intensif, yakni Rumah Sakit PTPN dan Rumah Sakit Mutiara Hati.  Namun, unit perawatan intensif di kedua rumah sakit itu sedang penuh.

"Perujuk ini kemudian menghubungi Dinkes untuk konsultasi. Saran dari petugas koordinator Dinkes, mendorong agar pasien terus mencari rujukan agar bisa diselamatkan, sehingga diputuskan Kurnaesih tetap dibawa ke RSUD Ciereng," katanya.

Maxi mengatakan Kurnaesih diterima dengan baik di RSUD Ciereng, yang merupakan rumah sakit tipe 2.

"Tidak ditolak, sebab kalau ditolak, mungkin di IGD juga enggak diterima. Pasien diperiksa tekanan darah, dan masih bisa ngomong," katanya.

Maxi mengatakan petugas kesehatan kemudian mendorong Kurnaesih mendapat layanan di Unit Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) RSUD.

"Saat masuk pintu, di sana ada bidan jaga yang berbicara. Ini pasien dari mana? Kok cepat banget, baru saya telepon lima menit kok sudah sampai. Pasien tidak tunggu jawaban, tapi sambil jalan," kata Maxi, menirukan perkataan petugas jaga RSUD Ciereng kepada pasien.

Maxi mengatakan petugas jaga di PONEK sebenarnya ingin menjelaskan hasil konsultasi dengan dokter kandungan serta tindakan operasi yang dibutuhkan oleh pasien.

"Tapi jawaban itu belum keluar (dari petugas jaga), pasien langsung ditarik ke ambulans dengan sedikit ngambek. Mungkin ada gestur tubuh, mimik, dan segala macam, hingga bahasa yang disampaikan kurang pas dengan jawaban itu, sehingga keluarga dan bidan perujuk merasa tersinggung," katanya.

Perempuan yang sedang hamil sembilan bulan itu meninggal dunia saat suaminya, Juju, berusaha membawa dia ke rumah sakit lain di Bandung, Jawa Barat.

Ketika dimintai keterangan secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan pentingnya ibu hamil untuk mengakses layanan Antenatal Care (ANC) sebanyak enam kali dan dua kali menjalani pemeriksaan dokter kandungan.

Rangkaian pemeriksaan tersebut, menurut dia, dibutuhkan untuk mendeteksi risiko pasien serta pertolongan medis yang dibutuhkan agar proses persalinannya berjalan lancar dan aman.

Mengenai akses layanan bagi ibu hamil yang membutuhkan pertolongan medis.

"Kalau situasi layanan penuh, memang tidak bisa dipaksakan, kecuali untuk dirujuk, dan pihak rumah sakit punya kewajiban memberikan pertolongan pertama pada kasus darurat."