Bagikan:

JAKARTA - Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan sesuai dengan aturan penundaan pemilu adalah tindakan yang melanggar konstitusi dan hal itu sama saja dengan tindakan makar.

"Apabila Pemilu tidak dilaksanakan secara berkala 5 tahun sekali, maka itu telah melanggar konstitusi, melanggar konstitusi merupakan bagian dari makar," kata Lili Romli dalam diskusi "Masa depan Pemilu 2024 pasca-putusan PN Jakarta Pusat" dikutip ANTARA, Selasa, 7 Maret.

Dia mengatakan, putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan tuntutan Partai Prima agar tahapan-tahapan pemilu sekurang-kurangnya 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sama saja dengan menunda tahapan pemilu.

Sementara menunda pemilu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar 1945 bahkan aturan turunan lainnya seperti UU Pemilu dan Peraturan Mahkamah Agung.

"Tuntutan yang dilakukan oleh Partai Prima ini sesungguhnya kalau mengacu pada konstitusi sudah melanggar aturan main konstitusi bahwa konstitusi mengatur bahwa pemilu dilakukan lima tahun sekali," kata dia.

Konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kata dia secara jelas dan tegas, tidak ada samar-samar dan tidak perlu ada penafsiran yang menyatakan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.

"Mengatur secara berkala 5 tahun sekali untuk pemilu parlemen dan eksekutif tidak ada pengurangan tidak ada penambahan apalagi penundaan," kata dia.

Dan, lanjut dia pula konstitusi di negara ini tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dan pihak manapun, semua harus tunduk kepada konstitusi.

"Tidak boleh ada siapapun memiliki tindakan dan sikap yang bertentangan dengan konstitusi. Saya kira ini yang harus digarisbawahi bahwa konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 adalah aturan main yang perlu kita junjung tinggi, tidak boleh dimain-mainkan," ujarnya.