Manuver Benny Wenda Harus 'Dibalas' dengan Nota Diplomatik ke Inggris dan Vanuatu
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengecam deklarasi yang dilakukan oleh Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat atau The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terkait negara Papua Barat. 

Menurut dia, tindakan makar telah terjadi setelah deklarasi kemerdekaan dan penetapan Benny Wenda sebagai Presiden Papua Barat secara sepihak ini.

"Bahwa deklarasi UMLWP adalah bukti telah ada atau dilakukannya perbuatan pelaksanaan makar. Sesungguhnya apa yang dilakukan UMLWP dengan mendeklarasikan dan menjadikan Benny Wenda sebagai Presiden Papua Barat sudah sangat jelas merupakan perbuatan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Bamsoet dalam konferensi pers usai rapat mengenai kondisi Papua di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Desember.

Tindakan ini kemudian dianggap Bamsoet telah melanggar Pasal 18b ayat 2, Pasal 25a, dan Pasal 47 Ayat 5 UUD 1945. Selain itu, Benny bisa dianggap melanggar Pasal 106 KUHP yang isinya menyebut makar yang dilakukan dengan niat hendak menaklukan daerah negara sama sekali atau sebagiannya ke bawah pemerintahan asing atau dengan maksud hendak memisahkan sebagian bisa dihukum pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun.

Atas alasan inilah, Bamsoet menegaskan pihaknya memberikan dukungan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dan terukur. Dia juga mendukung jika ada langkah diplomasi yang dilakukan dan menggunakan alat negara guna menjaga marwah dan mempertahankan kedaulatan NKRI.

Apalagi, selama ini, dunia internasional telah memberikan pengakuan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia dan menyatakan Papua Barat adalah bagian yang tak terpisahkan dari NKRI. "Oleh karenanya, pemerintah RI berkewajiban melindungi dan menjaga kedaulatan setiap jengkal wilayah NKRI termasuk Papua Barat," ungkapnya.

Selain itu, Bamsoet menilai, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri dianggap perlu untuk memanggil Duta Besar Inggris untuk meminta penjelasan mengenai posisi pemerintah Inggris terkait kegiatan kelompok ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. Tak hanya itu, pemerintah dinilai perlu untuk menyampaikan nota diplomatik terhadap negara-negara yang mendukung gerakan ini, termasuk kepada Vanuatu.

"Menyampaikan nota diplomatik posisi Indonesia yang tegas soal Papua baik kepada pemerintahan inggris maupun negara-negara Pasifik yang mendukung gerakan separatis termasuk Vanuatu," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Benny Wenda melakukan deklarasi negara Papua Barat dan menyatakan dirinya sebagai presiden sementara pada Senin, 1 Desember lalu.

Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Benny saat ini tengah membuat negara ilusi karena tak jelas alasannya melakukan deklarasi tersebut. "Benny Wenda ini membuat negara ilusi. Negara yang tidak ada dalam faktanya. Negara Papua Barat itu apa," kata Mahfud.

Mahfud menjelaskan, untuk membuat satu negara ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Syarat pertama adalah ada rakyat, menguasai wilayah, dan pemerintah. Namun, ketiga syarat ini tidak ada yang terpenuhi sehingga dirinya menyebut Benny tengah berilusi.

"Dia tidak ada. Rakyat siapa, dia memberontak. Wilayahnya kita menguasai, pemerintah siapa yang mengakui dia pemerintah? Orang Papua sendiri tidak juga mengakui," tegas eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

"Kemudian ada syarat lain, yaitu adanya pengakuan dari negara lain masuk dalam organisasi nasional, dia tidak ada yang mengakui," imbuh Mahfud.

Dia tak menampik, Papua Barat ini memang didukung oleh Vanuatu yang merupakan negara di kawasan asia pasifik. Namun, negara tersebut adalah negara kecil dan tidak masuk ke dalam organisasi internasional. Sehingga, dukungan Vanuatu kepada Papua Barat hanya disuarakan secara politik.

"Kedua, kenapa dia negara ilusi? Papua itu melalui referendum tahun 1969 sudah final dan sah menjadi bagian NKRI. Referendum bulan November 1969 disahkan majelis umum PBB bahwa Papua itu sah bagian Indonesia," ujarnya.