JAKARTA - Kremlin mengatakan rencana perdamaian Rusia-Ukraina usulan China yang mendesak kedua belah pihak untuk menyetujui de-eskalasi bertahap, memperingatkan agar tidak menggunakan senjata nuklir, harus dianalisis secara rinci dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
China, yang mendeklarasikan aliansi "tanpa batas" dengan Rusia tak lama sebelum Moskow mengirim puluhan ribu tentara ke Ukraina setahun yang lalu, menyerukan gencatan senjata yang komprehensif di Ukraina pada Hari Jumat pekan lalu.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, inisiatif-inisiatif seperti itu yang dapat membawa perdamaian lebih dekat, layak untuk diperhatikan.
"Kami menaruh perhatian besar pada rencana teman-teman kami dari Tiongkok," kata Peskov kepada para wartawan pada Hari Senin, melansir Reuters 27 Februari.
"Tentu saja, rinciannya perlu dianalisis dengan cermat dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang berbeda. Ini adalah proses yang sangat panjang dan intens," sambungnya.
Lebih jauh dikatakannya, Rusia terus melanjutkan apa yang disebutnya "operasi militer khusus" di Ukraina, belum melihat adanya tanda-tanda yang menunjukkan bahwa resolusi damai dapat dicapai untuk saat ini.
Peskov menolak untuk mengomentari laporan media AS yang mengatakan, Tiongkok sedang mempertimbangkan untuk mentransfer pesawat tak berawak ke Rusia.
Beijing sendiri diketahui telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia, yang terbaru adalah pada pertemuan akhir pekan Kelompok Dua Puluh (G20).
BACA JUGA:
Sebelumnya, China menyerukan gencatan senjata komprehensif di Ukraina pada Hari Jumat, dengan Presiden Volodymyr Zelensky mengatakan terbuka untuk mempertimbangkan bagian dari rencana perdamaian 12 poin yang diajukan oleh Beijing.
Rencana tersebut, yang dituangkan dalam makalah kementerian luar negeri, sebagian besar merupakan pengulangan dari garis China sejak Rusia meluncurkan apa yang disebutnya "operasi militer khusus" pada 24 Februari tahun lalu.
"Semua pihak harus tetap rasional dan menahan diri, menghindari mengipasi api dan memperburuk ketegangan, dan mencegah krisis memburuk lebih jauh atau bahkan lepas kendali," kata Kementerian Luar Negeri China dalam makalahnya.