Potensi Politik Uang Dinilai Lebih Besar Terjadi pada Parpol Saat Pemilu Terapkan Proporsional Tertutup
Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 yang meliputi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatig (Pileg). (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Risky Dewi Ambarwati, kuasa hukum dari pihak yang menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup memandang politik uang berpotensi lebih besar dalam proporsional tertutup.

"Politik uang berpotensi lebih besar terjadi pada partai politik yang menentukan kursi legislatif," kata Risky dalam sidang lanjutan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 itu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis 16 Februari disitat Antara.

Hal tersebut disampaikan Risky Dewi terkait dalil pemohon perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang pada intinya mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka menyebabkan pemborosan anggaran negara sekaligus potensi terjadinya politik uang.

Menanggapi hal itu, kuasa hukum pihak terkait berpandangan dalil yang diutarakan para pemohon bersifat tendensius serta tidak objektif.

Selain itu, masyarakat atau konstituen juga tidak bisa menilai kualitas dari calon legislatif yang akan dipilihnya karena ditentukan oleh partai pengusung.

Pada dasarnya kata Risky, baik di sistem pemilu proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, potensi politik uang tetap ada. Hanya saja di sistem proporsional tertutup kemungkinan hal itu lebih besar.

Dalam sidang itu ia menjelaskan Indonesia telah lama menerapkan sistem proporsional terbuka sehingga masyarakat dinilai telah memahami mekanisme tersebut saat pesta demokrasi berlangsung.

"Mekanisme tersebut justru akan memudahkan masyarakat saat pencoblosan," ujar dia.

Terkait perihal pemborosan anggaran sebagaimana yang didalilkan pemohon, Risky mengatakan efisiensi anggaran bisa diupayakan melalui pemanfaatan teknologi berbasis digital terutama pada saat tahapan-tahapan pemilu.

Permohonan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Pemilu diajukan Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak calon legislatif pragmatis yang hanya bermodalkan kepopuleran tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik.