JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan partai politik (parpol) yang terbukti membiarkan praktik politik uang bisa dijadikan alasan pemerintah mengajukan permohonan pembubaran parpol tersebut.
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan hukuman itu sebagai efek jera bagi parpol yang melanggengkan politik uang atau money politic. Hal itu disampaikannya dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 15 Juni.
"Bahkan, untuk efek jera, partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh Pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan," katanya.
Pernyataan tersebut merupakan pertimbangan MK ketika merespons dalil Pemohon terkait sistem pemilu proporsional terbuka yang rentan mengakibatkan terjadinya politik uang.
Saldi Isra menegaskan bahwa praktik politik uang berpotensi terjadi dalam semua sistem pemilihan umum. Langkah untuk menimbulkan efek jera merupakan salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya praktik politik uang.
Langkah lainnya adalah partai politik dan para calon anggota DPR/DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi dan bahkan sama sekali tidak menggunakan praktik politik uang pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, Saldi Isra juga memandang penting kesadaran dan pendidikan politik masyarakat untuk tidak menerima dan menoleransi praktik politik uang.
"Karena jelas-jelas merusak prinsip-prinsip pemilihan umum yang demokratis," kata Saldi.
Ia menambahkan, peningkatan kesadaran masyarakat tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara, serta penyelenggara pemilu.
Namun juga, menjadi tanggung jawab kolektif partai politik, masyarakat sipil dan pemilih.
"Sikap ini pun sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah, bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali," kata Saldi Isra.
BACA JUGA:
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDIP.
MK pun menyatakan menolak permohonan Para Pemohon, sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 15 Juni.