JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan soal akurasi data penerima bantuan dalam penyelenggaran program bantuan sosial (bansos) yang saat ini penyalurannya diubah secara tunai.
"KPK masih menemukan persoalan utama dalam penyelenggaraan bansos yaitu akurasi data penerima bantuan yang meliputi kualitas data penerima bantuan, transparansi data, maupun pemutakhiran data," kata Plt Juru Bicara KPK bidang pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan yang dikutip Rabu, 6 Januari.
Dia mengatakan, KPK menemukan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak sesuai dengan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan tidak diperbarui. Setidaknya, pada Juni 2020 lalu, ada 16 juta DTKS yang tak sesuai NIK pada Ditjen Dukcapil.
"Selain itu, data penerima bantuan reguler seperti PKH, BPNT, PBI-JK tidak merujuk pada DTKS," ungkapnya sambil menambahkan kondisi inilah yang lantas membuat sejumlah masyarakat di beberapa daerah mendapatkan bansos yang tumpang tindih antara bansos reguler dan bansos terkait COVID-19.
BACA JUGA:
Adapun penyebab tak akuratnya data tersebut, kata Ipi, didasari oleh proses pengumpulan data yang tidak diatur berbasis NIK sejak awal dan mengakibatkan tumpang tindih. Sehingga, untuk memperbaiki kualitas data penerima bantuan, KPK mendorong pemadanan NIK dan DTKS sebagai syarat untuk menyalurkan bansos.
"KPK juga merekomendasikan Kemensos agar memperbaiki akurasi DTKS, melakukan perbaikan tata kelola data, termasuk mengintegrasikan seluruh data penerima bansos di masa pandemi dalam satu basis data," tegasnya.
Lebih lanjut, komisi antirasuah tersebut berharap dengan adanya perubahan skema penyaluran bansos ini akan menutup celah terjadinya tindak pidana korupsi.
"KPK berharap perbaikan skema penyelenggaraan bansos akan meningkatkan efektivitas penyaluran yang lebih tepat sasaran dan tepat guna serta menutup potensi terjadinya fraud yang dapat mengarah pada tindak pidana korupsi," kata Ipi.
Selain itu, KPK juga akan terus memantau penyelenggaraan bansos agar terhindar dari praktik korupsi seperti yang sebelumnya menjerat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. "Kami akan terus memantau penyelenggaraan bansos sebagai salah satu program pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 dan mendukung pemulihan ekonomi nasional," jelasnya.
"Untuk itu KPK akan segera melakukan koordinasi kembali dengan Kementerian Sosial terkait penyaluran bansos," imbuh Ipi.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo meluncurkan bantuan tunai se-Indonesia di Istana Negara pada Senin, 4 Januari lalu. Bantuan ini terdiri dari tiga program yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, dan bantuan sosial (bansos) tunai. Nominal bantuan tunai ini bervariasi.
Adapun rincian dana PKH bagi ibu hamil atau nifas sebesar Rp250.000 per bulan, anak usia dini 0-6 tahun Rp250.000 per bulan, penyandang disabilitas berat Rp200.000 per bulan, dan lanjut usia Rp200.000 per bulan, pendidikan anak SD/Sederajat Rp75.000 per bulan, pendidikan anak SMP/Sederajat Rp125.000 per bulan, dan pendidikan anak SMA/Sederajat Rp166.000 per bulan.
Bantuan dana yang diberikan maksimal untuk 4 jiwa dalam satu keluarga penerima bantuan. PKH disalurkan tiga bulan sekali, yakni Januari, April, Juli, dan Oktober.
Kedua, Kartu Sembako yang diserahkan dalam bentuk bantuan pangan tunai nilai bantuan Rp200.000 per bulan per keluarga selama satu tahun.
Ketiga, bansos tunai senilai Rp300 ribu per bulan selama empat bulan untuk tiap keluarga. Bansos tunai diberikan kepada masyarakat selain penerima PKH dan Kartu Sembako.