KENDARI - Sepanjang tahun 2022 tercatat sebanyak 46 orang anak di bawah umur di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sulteng), mengajukan permintaan dispensasi kawin melalui pihak pengadilan agama setempat. Sebagian besar pemohon hamil sebelum menikah.
Ketua Pengadilan Agama Kota Baubau Makbul Bakari menyebutkan 99 persen permintaan dispensasi kawin itu karena telah hamil di luar nikah.
Data ini, kata dia, tentu membuat pilu karena menggambarkan maraknya aksi pergaulan bebas di kalangan anak. Bahkan, kasus dispensasi kawin ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut dia, pencegahan seharusnya dilakukan dari hulu. Dalam hal ini pemerintah kota setempat melalui organisasi perangkat daerah (OPD) terkait dan Kementerian Agama melalui penyuluh-penyuluh agama lebih intens lagi menyadarkan masyarakat bagaimana bahaya pergaulan bebas di kalangan remaja.
"Kalau sudah terjadi seperti ini sudah susah untuk dicegah, lebih baik mencegah daripada mengobati," kata Makbul dikutip ANTARA, Jumat 10 Februari.
Dikatakan pula bahwa tidak semua permohonan dispensasi kawin dapat dikabulkan oleh hakim karena pengambilan keputusan harus berdasarkan rekomendasi dari konselor Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau.
"Sebelum masuk persidangan, mereka (anak dan orang tua) diberi konseling terlebih dahulu oleh konselor. Jadi, berdasarkan rekomendasi dari konselor itu, akan jadi pertimbangan majelis hakim apakah anak tersebut layak diberikan dispensasi atau tidak," katanya.
Kepala Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kota Baubau Muhamad Ahadyat Zamani mengatakan bahwa pihaknya telah menjadwalkan sosialisasi ke sekolah-sekolah secara rutin sebagai upaya mencegah pergaulan bebas dan pernikahan dini di kalangan anak.
“Bersama Kementerian Agama dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau kami lakukan road show ke sekolah-sekolah, khususnya SMA dan SMK. Pada tahun kemarin, kami libatkan delapan sekolah sebagai upaya untuk mencegah pernikahan dini," ujarnya.
BACA JUGA:
Dalam roadshow tersebut, lanjut Ahadyat, diberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai regulasi UU Perkawinan, kesiapan fisik, psikis, hingga terkait dengan kesehatan alat reproduksi.
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terbaru mengalami revisi pada tahun 2019. Pada Pasal 7 yang semula usia minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan adalah pria 19 tahun dan wanita 16 tahun, kini menjadi 19 tahun bagi kedua belah pihak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise mengatakan bahwa revisi undang-undang itu untuk melindungi hak anak dan terciptanya perkawinan yang sehat dan sejahtera.