Bagikan:

JAKARTA - Majelis hakim menolak eksepsi yang diajukan terdakwa Abdul Latif selaku mantan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) di sidang putusan sela dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Surat dakwaan jaksa penuntut umum dapat dijadikan dasar untuk memeriksa dan mengadili perkara terdakwa," kata Ketua Majelis Hakim Jamser Simanjuntak saat sidang di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), Rabu 1 Februari.

Penolakan keberatan terdakwa Abdul Latif maka hakim memutuskan untuk melanjutkan sidang ke tahap pembuktian dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi pada Rabu 8 Februari mendatang.

Jaksa Penuntut Umum KPK telah mempersiapkan saksi sebanyak 90 orang. Adapun saksi itu terdiri dari 45 saksi kasus dugaan gratifikasi dan 45 lainnya perkara TPPU.

"Untuk pekan depan ada tujuh saksi kami hadirkan," kata tim JPU KPK, Hari, disitat Antara.

Latif yang saat ini menjadi narapidana di Lapas Sukamiskin, Jawa Barat sebelumnya didakwa telah menerima gratifikasi dan melakukan TPPU.

JPU KPK mendakwa Latif telah menerima gratifikasi sebesar Rp41,5 miliar dari sejumlah dinas di HST semasa menjabat sebagai bupati pada 2016 hingga 2017.

Atas tindakan tersebut, Latif didakwa dengan pasal 12 B juncto pasal 18 Undang-Undang tindak pidana korupsi tentang gratifikasi.

Selain itu, Latif juga didakwa telah melakukan TPPU yang dilakukan dengan cara penyetoran melalui perbankan, pembelian surat berharga atau obligasi, tanah, rumah, termasuk kendaraan bermotor yang totalnya Rp34,2 miliar.

KPK sebelumnya sudah divonis bersalah dalam kasus suap dengan vonis enam tahun penjara serta denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan serta dicabut hak politiknya selama tiga tahun karena terbukti menerima suap Rp3,6 miliar terkait pembangunan ruang perawatan di RSUD Damahuri Barabai.

Hukuman tersebut diperberat di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yaitu dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp300 subsider tiga bulan kurungan.

Pada tingkat kasasi, hukuman Abdul Latif ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti Rp1,8 miliar, sementara hukuman penjara, denda, dan pencabutan hak politik tetap seperti tingkat banding.