Bagikan:

JAKARTA - Malam tahun baru 2020 otoritas China pertama kalinya melaporkan kasus COVID-19 kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Saat itu pula dunia pertama kali mengenal virus corona jenis baru. Namun, penemuan virus baru tak berhenti di SARS-CoV-2. Ada sejumlah virus baru, atau yang baru terungkap bahayanya, di sepanjang "tahun pandemi" ini. Apa saja?

Seperti dikutip National Geographic, setidaknya ada 1,6 juta virus yang masih menjadi misteri dan mengintai mamalia dan burung. Dan separuhnya berpotensi untuk menular kepada manusia. 

Jumlah itu memang baru perkiraan, itung-itungan model matematika, tapi ancamannya jelas. Nyata. Enam dari sepuluh penyakit menular yang menyerang manusia berasal dari hewan. Penyakit itu termasuk HIV/AIDS, Ebola, MERS, SARS, dan kemungkinan besar COVID-19.

G4 EA H1N1

Belum usai COVID-19 meneror manusia, muncul kabar ditemukannya varian baru flu babi yang ditemukan di China. Saat itu santer terdengar virus baru ini bakal menjadi pandemi selanjutnya.

Flu babi muncul pertama kali pada 2009. Dan G4 EA H1N1 ini adalah mutasinya. Virus ini termasuk genotipe "G4" yang menjadi dominan pada populasi babi sejak 2016. 

Seperti dikutip BBC, para ilmuwan, yang mempelajari virus flu pada populasi babi antara tahun 2011 dan 2018, mencatat sekitar 10 persen dari pekerja industri babi yang mereka uji di China telah terpapar virus tersebut. Hal inilah yang membuat para dokter kalang kabut.

Tingkat itu meningkat di antara pekerja yang lebih muda, berusia 18-35 tahun, "menunjukkan bahwa virus utama G4 EA H1N1 telah memperoleh peningkatan infektivitas pada manusia." 

"Infektivitas seperti itu sangat meningkatkan peluang untuk adaptasi virus pada manusia dan meningkatkan kekhawatiran terhadap kemungkinan munculnya virus pandemi," kata para ilmuwan yang bekerja di beberapa universitas di China dan CDC China. 

Mereka menyarankan pemantauan ketat terhadap populasi babi dan siapa pun yang bekerja dengan mereka. "Pengendalian virus G4 EA H1N1 yang ada pada babi dan pemantauan ketat pada populasi manusia, terutama pekerja di industri babi, harus segera dilaksanakan,” tulis mereka.

Flu babi yang pertama kali muncul di Meksiko pada 2009, memang sudah dianggap sebagai flu musiman. Namun para ilmuwan menegatakan kekebalan yang sudah ada terhadap penyakit tersebut tidak memberikan kekebalan terhadap virus G4, varian flu babi yang baru. 

Profesor Kin-Chow Chang, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan kepada BBC bahwa meski saat ini tengah disibukan melawan COVID-19, kita tetap tak dapat membiarkannya begitu saja. "Kita tidak boleh melupakan virus baru yang berpotensi berbahaya," katanya. 

Vaksin flu saat ini tampaknya tidak melindungi terhadapnya, meskipun mereka mungkin dapat diadaptasi jika diperlukan. 

Chapare

Kemudian pada pertengahan November 2020 terungkap ada sebuah virus berbahaya mirip Ebola di Bolivia, namanya chapare. Virus ini pertama kali ditemukan ilmuwan dan diketahui dapat menular dari manusia ke manusia pada 2004. 

Seperti dikutip Insider, nama chapare diambil dari tempat pertama virus teramati di Chapare, La Paz, ibu kota de facto Bolivia. Tahun lalu ditemukan 5 kasus infeksi virus chapare di wilayah tersebut. Dan tiga di antaranya berakibat fatal.

Tiga dari lima kasus dialami petugas medis yang tertular dari pasien yang terjangkit penyakit tersebut. Sementara satu orang tenaga medis yang diduga tertular saat menyebot air liur pasien, meninggal.

Mereka yang terinfeksi virus Chapare memiliki gejala termasuk demam, sakit kepala, nyeri tubuh, mual, dan pendarahan dari gusi. Virolog dari CDC Amerika Serikat, Maria Morales-Betoulle mulanya mengira penyakit itu adalah demam berdarah. 

"Tak selalu terpikir tentang virus seperti Chapare. Namun jika Anda tidak mencari tahunya, anda tidak akan menemukan kemungkinan baru," kata Maria. 

Virus ini bisa menular bagi mereka yang melakukan kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, seperti petugas kesehatan dan anggota keluarga yang merawat orang sakit.

Meski punya gejala parah dan dapat menimbulkan kematian, virus chapare bukanlah ancaman pandemi. Hal itu lantaran sumber virus ini dibawa oleh tikus beras pigmy bertelinga kecil yang hanya ditemukan di beberapa wilayah Amerika Selatan. 

Varian baru COVID-19

Lalu pada pertengahan Desember, kabar penemuan virus baru kembali mencuat. Varian baru COVID-19 di Inggris membuat dunia kembali gempar. Hal itu bahkan membuat banyak negara menutup perjalanan dari dan ke Inggris, sebab virus ini disebut-sebut 70 persen lebih menular. 

Saat ini setidaknya ada banyak varian virus SARS-CoV-2 yang bermutasi. Yang dari Inggris bernama resmi varian B117 atau VUI 202012/01, singkatan dari varian under investigation dengan kode sesuai waktu ditemukannya yakni Desember 2020.

Virus ini sudah menyebar ke banyak negara seperti Afrika Selatan, Jepang, Lebanon, Australia, Italia, Jerman, bahkan sudah sampai negara tetangga, Malaysia dan Singapura. 

Sementara itu di Indonesia sendiri, tercatat ada mutasi COVID-19 baru yang berbeda dari varian asal Inggris. Varian mutasi virus corona itu disebut D614G.

Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan empat mutasi virus COVID-19 di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Melalui Pokja Genetik FK-KMK UGM dan tim telah berhasil mengidentifikasi Whole Genome Sequencing (WGS) empat isolat dari Yogyakarta dan Jawa Tengah yang ditengarai mengandung mutasi D614G.

Mutasi D614G pada virus SARS-CoV-2 ini mempunyai daya infeksius 10 kali lebih tinggi telah tersebar hampir di seluruh pelosok dunia, yaitu 77.5 persen dari total 92.090 isolat mengandung mutasi D614G. Sedangkan di Indonesia sendiri sudah dilaporkan sebanyak 9 dari 24 isolat yang dipublikasikan mengandung mutasi D614G. 

Disease X

Hingga menjelang akhir tahun, kekhawatiran para ilmuwan seolah tak pernah surut. Pasalnya, menjelang  ini mereka tengah meneliti dugaan munculnya virus baru yang ada di Kongo, negara di Afrika Tengah. Mereka menamai virus ini sebagai "Disease X". X yang artinya tak terduga (unexpected).

Mulanya, seperti dinukil CNN ada seorang pasien di Ingende, kota terpencil Kongo, mengalami gejala seperti demam berdarah. Gejala tersebut juga terjadi pada penderita Ebola. Namun hasil tes belum menunjukkan bahwa ia terinfeksi Ebola.

Identitasnya dirahasiakan, untuk melindunginya dari pengucilan oleh penduduk setempat yang takut akan infeksi Ebola. Anak-anaknya juga telah dites, tetapi untuk saat ini tidak menunjukkan gejala apa pun.

Ketakutan munculnya virus baru yang mematikan terasa nyata setelah pasien mengalami gejala mirip Ebola muncul juga. Sebab ketika sampelnya diuji dengan penyakit jenis lain, hasilnya negatif. Sampai detik ini penyakit ini masih menjadi misteri.

Para ilmuwan khawatir, bagaimana kalau pasien tersebut ternyata pasien nol dari "Disease X?" Bagaimana kalau itu jadi infeksi pertama dari patogen baru yang menyebar secepat COVID-19 namun dengan fatality rate setinggi Ebola?

Meski masih sebatas hipotesis, Dokter Rumah Sakit Ingende, Dadin Bonkole mengatakan bila hal itu bukan mustahil terjadi. Mata Bonkole Ebola dulunya pun tak diketahui, COVID-19 juga demikian. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar lebih waspada daripada munculnya penyakit baru.