JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho berpendapat, langkah menjadikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penyidik tunggal dalam menangani tindak pidana di sektor jasa keuangan tidak tepat.
“Ini tidak memberikan keterbukaan. Lembaga lain punya kewenangan dong, uang punya negara, tidak hanya OJK, jadi kurang tepat kalau hanya OJK,” kata Hibnu dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Antara, Senin, 16 Januari.
Hibnu menilai Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang mengatur kewenangan penyidik tunggal ini berbenturan dengan peraturan perundang-undangan lain.
“Dilihat dari struktur atau sistem kelihatannya benturan dengan undang-undang lain. Dalam UU (KUHAP), penyidik tunggal Polri, di luar itu ada PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) tertentu. Semua lembaga boleh melakukan penyidikan, tapi di bawah pengawasan korwas Polri, itu harus ditegaskan,” kata Hibnu.
Hibnu mengatakan kewenangan baru bagi OJK ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan karena mulai dari pengawasan hingga penyidikan sektor keuangan hanya OJK yang melakukannya.
“Berpotensi penyalahgunaan. OJK milik publik, masa polisi enggak bisa. Kalau uang OJK silakan, itu uang negara, harus ada keterbukaan. Jangan sampai negara dalam negara, penyidik dalam penyidik,” ujarnya.
Sebelumnya, OJK diberi kewenangan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Hal itu tercantum dalam Pasal 49 ayat (5). Artinya, selain sebagai regulator dan pengawas, OJK bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan.
BACA JUGA:
"Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan penyidik Otoritas Jasa Keuangan," demikian bunyi Pasal 49 ayat (5).